FRAKTUR MAXILA
A. PENGERTIAN
Fraktur maksila
merupakan bagian dari trauma maxilofasial. Fraktur maxilofasial atau fraktur wajah adalah putusnyakontinuitas
tulang, tulang epifisis atau tulang rawan sendi. MenurutReksoprodjo (1995),
fraktur adalah suatu keadaan
dimana tulang retak, pecahatau patah, baik tulang maupun tulang rawan. Bentuk
dari patah tulangbisa hanya retakan saja atau bisa juga sampai hancur berkeping-keping.
Fraktur maksila adalah kerusakan pada tulang maxilla yang seringkali
terjadi akibat adanya trauma, periodontitis maupun neoplasia.
Secara anatomis maksila atau rahang atas
merupakan tulang berpasangan. Maksila memiliki sepasang rongga berupa sinus
maksilaris, ke atas berhubungan dengan tulang frontal dan tulang nasal, ke
lateral dengan tulang zygoma dan inferior – medial pada prosesus frontalis
maksila. Maksila merupakan tulang yang tipis, pada bagian lateral lebih tebal
dan padat, pada bagian ini disangga olehzygomatimaksilari(Stack & Ruggiero, 2006)
Maxila dibentuk oleh
tulang maksila dan palatum, merupakan tulang terbesar setelah mandibula (Moe,
2013). Masing-masing maxila mempunyai bagian :
1.
Corpus : yang
berbentuk pyramid dengan empat permukaan dinding
a)
Facies
orbitalis yang ikut membentuk dasar kavum orbita
b)
Facies
nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi
c)
Facies infra
temporalis yang menghadappostero-lateral
d)
Facies anterior
2.
Processus,
terdiri dari empat, yaitu :
a)
Processus
frontalisyang bersendi pada os frontal, nasal dan lakrimalis
b)
Processus zygomaticus
yang bersendi pada os zygomatikus
c)
Processus
alveolaris yang ditempati akar gigi
d)
Processus
palatinus yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris
Corpus maksilaris
merupakan bangunanberongga, berdinding tipis, terutama pada facies nasalis.
Rongga ini disebut sinus maksilaris, yang
merupakan salah satu danyang terbesar dari empat sinus paranasalis yang ada.
Besar sinus bervariasi tergantung usia dan perluasan processus. Dibawah
mukosanya, pada dinding anteriordan posterior
terdapat anyaman syaraf yang dibentuk oleh cabang nervus maxilaris yang masuk
melalui kanalis alveolaris dan kanalis infraorbita bersama dengan vasanya untuk mensyarafi gigi rahang atas.
Akar gigi yang tumbuh pada processus alveolaris kadang dapat menembus sinus
Terdapat
otot-otot kecil dan tipis yang melekat
pada maksila dan termasuk dalam golongan otot mimik yang mendapat persyarafan
motorik dari N VIII.
B. ETIOLOGI
Penyebab
fraktur fasiomaksila
adalah trauma,
misalnya yangdiakibatkan oleh kecelakaan
lalu lintas,jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja,
cederaolahraga,
kecelakaan akibat peperangan,
dan tindakan
kekerasan (Fonseca
&Walker, 2005) sertafraktur patologis.
Penyebab fraktur terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas
(Bailey,1992). Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya perhatianterhadap keselamatan jiwa pada saat berkendaraan, seperti tidak menggunakan pelindung kepala/
helm,kecepatan dan rendahnya
kesadaran tentang etika berlalu-lintas (Devadiga &Prasad, 2007).
Trauma maxillofacialcukup
sering terjadi. Hampir semua dokter, baik itu dokter umummaupun dokter spesialis bedah
mendapatkan pasien trauma wajah selama praktiknya. Dokterbedah plastik yang
memiliki keahlian khusus dalam anatomi wajah, latar belakang estetika,
dankeahlian dalam penyembuhan luka sering kali mendapatkan rujukan untuk
menangani pasientrauma wajah.(Tiwana Paul, et al, 2006).
Fraktur maksila juga dapat terjadi pada anak-anak,
dengan peningkatan prevalensi seiringdengan meningkatnya usia anak terkait
dengan peningkatan aktivitas fisik. Fraktur maksila padaanak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan orang dewasa baik itu dari segi pola,maupun treatment.
Dengan demikian, adanya fraktur maxillofacialharus
dapat didiagnosis danditangani dengan tepat dan akurat untuk menghindari
gangguan pertumbuhan dan perkembanganselanjutnya, mengingat adanya gangguan
fungsional dan masalah estetika yang mungkin terjadi
(Andrea et al, 2008)
C. KLASIFIKASI
FRAKTUR
Klasifikasi fraktur maxila dikembangkan
pertama kali oleh Rene Le Fort (1869-1951), ahli bedah dari Lilie, dan Martin
Wassmun (1892-1956), ahli bedah mulut dan maksilofasial dari Berlin (Budiharja
& Rahmat, 2012).dengan melaporkan penelitian pada jenazah yang mengalami
trauma tumpul pada wajah. Disimpulkan terdapat pola prediksi fraktur
berdasarkan kekuatan dan arah trauma (Thornton,Talavera&Garza, 2006) Dibagi kedalam 3 tipe yaitu :
1. Fraktur
Le Fort I
Fraktur Le Fort I terjadi di atas level gigiyang
menyentuh palatum, meliputi keseluruhan prosesus alveolar dari maksila, kubah
palatum dan prosesus pterigoid. Fraktur membentang secara horizontal menyeberangibasis
sinus maksila (Fraioli,
2008). Dengan
demikian dindingmaksilari transversal bawah akan bergeserterhadap
tulang wajah lainnya maupun kranium (Hopper Richard A, 2006)
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan
tunggalatau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Fraktur Le
Fort I inisering disebut sebagai fraktur transmaksilari/
Guerin(Budiharja & Rahmat, 2012).
2.
Fraktur
Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin
secaraklinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal
biasanyaberkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur pyramidalmelibatkan
sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dannasofrontalis merupakan sutura yang
sering terkenaSeperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahangatas,
bisa merupakan suatu keluhan atau ditemukan
saatpemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibandingfraktur Le
Fort I, begitu
juga dengan gangguan
oklusinya,
tidak separah padaLe Fort I (Baumann, Troulis &Kaban, 2004)
3. Fraktur
Le Fort III (craniofacial
disjunction).
Fraktur jenis ini merupakan
cedera yangterparah.
Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempatperlekatannya yakni basis
kranii
(Fraioli,
2008)
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera
kranioserebral,di mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan yang
dihasilkandapat
mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuatuntuk mengakibatkan trauma
intracranial (Suardi, 2012).
D. TANDA
DAN GEJALA
1) Fraktur
Le fort I : tidak terdapat edema wajah, tidak ada ekimosis sirkumorbital dan
subkonjungtiva,maksila dapat turun kebawah atau kearah lateral, pada intra
orbital terjadi maloklusi dan ekimosis, pada palpasi terlihat mobilitasmaxila.
2) Fraktur Le Fort II dan III: terjadi ekimosis
dan perdarahan subkonjungtiva, perdarahan hidung dan naso faring, pendataran
atau pemanjangan profil muka, ada kemungkinan terjadi parestesi daerah infra
orbita dan cerebrocranial fluid rhinorrhea. Pada trauma yang berat bagian
tengah wajah akan terdesak kearah posteroinferior, sehingga palatum bertemu
denganlidah, edema, perdarahan dan pada akhirnya akan menyumbat jalan nafas.
Secara umum, gejala klinis yang muncul diantaranya:
1) Nyeri
ketika mulut dibuka dan daerah
yang fraktur dipegang
2) Bentuk infra orbita asimetris
3) Edema
4) Hidung atau mulut mengeluarkan darah.
5) Terjadikerusakan pada bagian hidung.
E.
PATOFISIOLOGI
Pathofisiologi pada fraktur maxilofasial
(mandibula, maxila dan orbita)
seringkali disebabkan olehadanya trauma kepala yang disertai dengan luka serius
sehingga menyebabkan kerusakanpada os mandibula, maksilla, system pernafasan atas, system syaraf pusat,
pneumothorax,kontusio pulmoner dan miocarditis traumatic. Sedangkan kerusakan yang terjadi secara
tidak langsung misalnya adanyapencabutan gigi dengan disertai periododental
atau disertai dengan gangguan metabolismeyang menyebabkan osteoporosis. Ketidaknormalan ini
sering terjadi secara akut sehinggadibutuhkan penanganan yang cepat dan tepat.
Jika perawatan yang diberikan kurang tepatakan
menyebabkan abnormalitas permanen pada bentuk tulang yang dapat berdampakpada
menurunya fungsi sebenarnya. Penanganan sebaiknya dilakukan sebelum tulang
yangtelah mengalami kelainan atau abnormal bertaut atau membentuk jaringan ikat
antaratulang-tulang abnormal. Seringkali kasus fraktur mandibula diawali dengan
hilangnya tulangakibat periodontitis.
F. PEMERIKSAAN
KLINIS DAN PENUNJANG
Pemeriksaan klinis dilakukan berbeda
pada masing-masing Le Fort :
1) Pemeriksaan
klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara
ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada
bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung
rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite
anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
2)
Pemeriksaan
klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara
ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung
sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat
tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit
yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan
fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung
rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan Computed Tomography (CT) scan.
3)
Pemeriksaan
klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat
terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral.
Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran
seluruh bagian atas wajah.Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan
G. PENATALAKSANAN
Penatalaksanaan
pada fraktur maksila tahap awal meliputi pembebasanjalan nafas, kontrol pendarahan,penutupan luka pada soft
tissue, dan menempatkan segmen tulang yang fraktur sesuai denganposisinya
melalui fiksasi intermaksilari (Fraioli, 2008).
Jika
pada awal kejadian jalan nafas mengalami perdarahan dan obstruksi maka
harus segera dilakukan tindakan, kadang diperlukan tracheostomy, dilanjutkan dengan reduksi dan fixasi jika
memungkinkan.
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch
bar,fiksasimaksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yangdidapatkan
dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen frakturmengalami impaksi, maka
dilakukan pengungkitan denganmenggunakan tang pengungkit, atau secara tidak
langsung denganmenggunakan tekanan pada splint/arch bar
(Fraioli, 2008).
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa
denganfraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukanperawatan
fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanyadireduksi dengan
menggunakan molding digital dan splinting (Baumann, Troulis& Kaban, 2004)
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat denganmenggunakan
arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatanlangsung bilateral, atau
pemasangan pelat pada suturazigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular
pada prosessuszigomatikus ossis frontalis (Fitriana dan Syamsudin, 2013)
Manajemen pasca operasi terdiri dariperawatan secara
umum pada pasien seperti kebesihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, danantibiotik
selama periode perioperasi
DAFTAR
PUSTAKA
Bailey H. Ilmu bedah gawat darurat Ed. II. Yogyakarta:
Gajah MadaUniversity Press, 1992.
Baumann A, Troulis MJ, Kaban LB. Facial traumaII :
dentoalveolar injuries
and mandibular fractures. In, Pediatric
oral andmaxillofacial surgery. USA: Elsevier Science, 2004 : p.446.
Budiharja AS, Rahmat M. Trauma oral dan maksilofasial. Juwono L: Editor.Jakarta: EGC, 2011:
p.33-171.
Doengoes (2010).
Nursing Care Plans. Davis Plus.
Fitriana E, Syamsuddin E &Fathurrahman. (2013). Karakteristik, insiden danpenatalaksanaan fraktur maksilofasial
pada anak di Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Bandung: FK Universitas Padjajaran. p. 1-14.
Fraioli Rebecca E (2008). Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol
Clin N Am.
No
41.
p51-76.
Fonseca RJ, Walker RV (2005). Oral and maxillofacial trauma. Ed. 2, Vol.2 USA:W.B.Saunders
Company,
Reksoprodjo S (1995).Kumpulan kuliah
ilmu bedah. Jakarta:
Binarupa Aksara,
Stack CB, Ruggiero PF (2006).
Maxillary and periorbiatal fractures. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th
ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia,. p : 975-993
Suardi EP, Jaya A, Maliawan S, Kawiyana S (2012). Fraktur pada tulang maksila.Bali.
FK Universitas Udayana, p. 1-19.
Tiwana Paul S, et al (2008). Maxillary Sinus Augmentation. Dent Clin N Am.2006; 50: 409-424.Alcala-Galiano Andrea, MD, et al.
Pediatric Facial Fractures: Children Are Not Just SmallAdults. Radiographics.; 28:441-461.
Thornton FJ, Talavera F&Garza RJ (2006). Facial Trauma,
maxillary and Le fort fractures. E
medicine. Last update.
Moe. K S (2013), Maxillary and Le Fort Fractures.Emedicine. Medscape.