A.
DEFENISI
Abses hati adalah bentuk infeksi
pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun
nekbrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai
dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati
(Aru W Sudoyo, 2006).
Abscess adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang
tidak akibat kerusakan jaringan, Hepar adalah hati (Dorland, 1996).
Jadi Abses hepar adalah rongga
berisi nanah pada hati yang diakibatkan oleh infeks
B.
ETIOLOGI
Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati
amoeba dan abses hati pyogenik.
1.
Abses hati amoeba
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebgai
parasit non patogen dalam mulut dan usus, tapi hanya Enteremoeba histolytica
yang dapat menyebabkan penyakit.Hanya sebagian individu yang terinfeksi
Enteremoeba histolytica yang memberi gejala invasif, sehingga di duga ada dua
jenis E. Histolytica yaitu starin patogen dan non patogen. Bervariasinya
virulensi strain ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada
hepar (Aru W Sudoyo, 2006).
E.histolytica di dalam feces dapat di temukan dalam dua
bentuk vegetatif atau tropozoit dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup di
luar tuibuh manusia.Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten terhadap
suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam suasana kering dan
asam. Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit,
mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu
mengakibatkan destruksi jaringan.
2.
Abses hati piogenik
Infeksi terutama disebabkan oleh
kuman gram negatif dan penyebab yang terbanyak adalah E.coli.Selain itu,
penyebabnya juga adalah streptococcus faecalis, Proteus vulgaris, dan
Salmonellla Typhi.Dapat pula bakteri anaerob seperti bakteroides, aerobakteria,
akttinomesis, dan streptococcus anaerob.Untuk penetapannya perlu dilakukan
biakan darah, pus, empedu, dan swab secara anaerob maupun aerob (Aru W Sudoyo,
2006).
C. PATOFISIOLOGI.
1.
Amoebiasis Hepar
Amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba
hystolitica. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang
memberi gejala amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica
yaitu strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.
Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa
mekanisme yang telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi parasit yang
menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit,
imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas
cell-mediated. (Arief Mansjoer, 2001)
Secara
singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme : (Arief Mansjoer, 2001)
a. strain E.hystolitica ada yang
patogen dan non patogen.
b. secara genetik E.hystolitica dapat
menyebabkan invasi tetapi tergantung pada interaksi yang
kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama pada flora
bakteri.
Mekanisme
terjadinya amebiasis hati:
1) penempelan E.hystolitica pada mukus
usus.
2) pengerusakan sawar intestinal.
3) lisis sel epitel intestinal serta
sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell- mediated yand disebabkan
enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit tuberkulosis,
malnutrisi, keganasan dll.
4) penyebaran ameba ke hati. Penyebaran
ameba dari usus ke hati sebagian besar melalui vena porta. Terjadi fokus
akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi
granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan
jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti
jaringan fibrosa.
Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah
terjadinya amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa
didahului riwayat disentri amebiasis. (Aru W Sudoyo, 2006)
Skema bagan Terjadinya Amoebiasis
hepar :
2.
Abses hati piogenik
Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang
berasal dari:
a.
Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa
menyebabkan pielflebitis porta atau emboli septik.
b.
Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering.
Kolangitis septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga
batu empedu, kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu
kongenital.
c.
Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik
berdekatan seperti abses perinefrik, kecelakaan lau lintas.
d.
Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.
e.
Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama
pada organ lanjut usia.(Aru W Sudoyo, 2006)
D.
TANDA DAN GEJALA / MANIFESTASI
KLINIS.
Keluhan awal: demam/menggigil, nyeri abdomen,
anokresia/malaise, mual/muntah, penurunan berat badan, keringan malam, diare,
demam (T > 38°), hepatomegali, nyeri tekan
kuadran kanan atas, ikterus, asites, serta sepsis yang menyebabkan kematian.
(Cameron 1997)
Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klisik
berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang di tandai dengan jalan membungkuk
kedepan dengan kedua tangan diletakan di atasnya. Demam/panas tinggi merupakan
keluhan yang paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen, dan disertai dengan keadaan syok. Apabila AHP letaknya dekat
digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada bahu
sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah,
berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang unintentional.
Abses
adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan proses
yang disebut peradangan.
Awalnya,
seperti bakteri mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, beberapa kejadian terjadi:
a. Darah mengalir ke daerah meningkat.
b. Suhu daerah meningkat karena
meningkatnya pasokan darah.
c. Wilayah membengkak akibat akumulasi
air, darah, dan cairan lainnya.
d. Rasanya sakit, karena iritasi dari
pembengkakan dan aktivitas kimia.
e. Keempat tanda-panas, bengkak,
kemerahan, dan sakit-ciri peradangan
E.
PENATALAKSANAAN.
1. Medikamentosa
Derivat nitroimidazole dapat
memberantas tropozoit intestinal/ekstraintestinal atau kista.Obat ini dapat
diberikan secara oral atau intravena.
Secara singkat pengobatan amoebiasis hati sebagai berikut :
a. Metronidazole : 3x750 mg selama 5-10
hari dan ditambah dengan ;
b. Kloroquin fosfat : 1 g/hr selama 2
hari dan diikuti 500/hr selama 20 hari, ditambah;
c. Dehydroemetine : 1-1,5 mg/kg BB/hari
intramuskular (maksimum 99 mg/hr) selama 10 hari.
2. Tindakan aspirasi terapeutik
Indikasi
:
Abses
yang dikhawatirkan akan pecah
a.
Respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada.
b.
Abses di lobus kiri karena abses disini mudah pecah ke
rongga perikerdium atau peritoneum.
3. Tindakan pembedahan
Pembedahan dilakukan bila :
a.
Abses disertai komplikasi infeksi sekunder.
b.
Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang
interkostal.
c.
Bila teraoi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil.
d.
Ruptur abses ke dalam rongga intra
peritoneal/pleural/pericardial.
Tindakan bisa berupa drainase baik tertutup maupun terbuka,
atau tindakan reseksi misalnya lobektomi.
F.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
Menurut Julius, ilmu penyakit dalam jilid I, (1998).
Pemeriksaan penunjang antara lain:
1. Laboratorium
Untuk mengetahui kelainan hematologi
antara lain hemoglobin, leukosit, dan pemeriksaan faal hati.
2. Foto dada
Dapat ditemukan berupa diafragma
kanan, berkurangnya pergerakkan diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses
paru.
3. Foto polos abdomen
Kelainan dapat berupa hepatomegali,
gambaran ileus, gambaran udara bebas diatas hati.
4. Ultrasonografi
Mendeteksi kelainan traktus bilier
dan diafragma.
5. Tomografi
Melihat kelainan di daerah posterior
dan superior, tetapi tidak dapat melihat integritas diafragma.
6. Pemeriksaan serologi
Menunjukkan sensitifitas yang tinggi
terhadap kuman.
Menurut
Julius, ilmu penyakit dalam jilid I (1998) Pengobatan dilakukan tiga cara :
a. Kemotrapi
Obat-obat
dapat diberikan secara oral atau intravena sebagai contoh untuk gram negatif
diberi Metranidazol, Clindamisin atau Kloramfenikal.
b. Aspirasi Jarum
Panda abses yang kecil atau tidak toksik tidak perlu
dilakukan aspirasi.Hanya dilakukan pada ancaman ruktur atau gagal pengobatan
konserfatif. Sebaliknya aspirasi ini dilakukan dengan tuntunan USG
G.
PROGNOSIS.
1. Virulensi parasite
2. Status imunitas dan keadaan nutrisi
penderita
3. Usia penderita, lebih buruk pada
usia tua
4. Cara timbulnya penyakit, tipe akut
mempunyai prognosa lebih buruk letak dan jumlah abses, prognosis lebih buruk
bila abses di lobus kiri atau multiple. Sejak digunakan pemberian obat seperti
emetine, metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun secara tajam. Sebab
kematian biasanya karena sepsis atau sindrom hepatorenal.
H.
KOMPLIKASI.
Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses
sebesar5 – 15,6%, perforasi abses keberbagai organ tubuh seperti ke pleura,
paru, pericardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat
terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase.(Julius, 1998).
Dapat
juga komplikasi seperti:
1. Infeksi sekunder
Merupakan komplikasi paling sering,
terjadi pada 10-20% kasus.
2. Ruptur atau penjalaran langsung
Rongga atau organ yang terkena
tergantung pada letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal,
kemudian kerongga intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ
lain.
3. Komplikasi vaskuler
Ruptur kedalam v. porta, saluran
empedu atau traktus gastrointestinal jarang terjadi.
4. Parasitemia, amoebiasis serebral
E. histolytica bisa masuk aliran
darah sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan
gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.
KONSEP
KEPERAWATAN.
A. PENGKAJIAN
Adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan
data dan menganalisanya sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien
tersebut.
Menurut Doenges,E.M (2010), data dasar pengkajian pasien
dengan Abses Hepar, meliputi:
1) Aktivitas/istirahat, menunjukkan
adanya kelemahan, kelelahan, terlalu lemah, latergi, penurunan massa
otot/tonus.
2) Sirkulasi, menunjukkan adanya gagal
jantung kronis, kanker, distritmia, bunyi jantung ekstra, distensi vena
abdomen.
3) Eliminasi, Diare, Keringat pada
malam hari menunjukkan adanya flatus, distensi abdomen, penurunan/tidak ada
bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap pekat.
4) Makanan/cairan, menunjukkan adanya
anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat mencerna, mual/muntah,
penurunan berat badan dan peningkatan cairan, edema, kulit kering, turgor
buruk, ikterik.
5) Neurosensori, menunjukkan adanya
perubahan mental, halusinasi, koma, bicara tidak jelas.
6) Nyeri/kenyamanan, menunjukkan adanya
nyeri abdomen kuadran kanan atas, pruritas, sepsi perilaku
berhati-hati/distraksi, focus pada diri sendiri.
7) Pernapasan, menunjukkan adanya
dispnea, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru
terbatas, asites, hipoksia.
8) Keamanan, menunjukkan adanya
pruritas, demam, ikterik, ekimosis, patekis, angioma spider, eritema.
9) Seksualitas, menunjukkan adanya
gangguan menstruasi, impotent, atrofi testis.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN.
Menurut Doenges,E.M (2010), diagnosa keperawatan pasien
dengan Abses Hepar meliputi :
1. Pola napas, tidak efektif
berhubungan dengan Neuromuskular, ketidakseimbangan perceptual/kognitif.
2. Perubahan persepsi/sensori: proses
pikir berhubungan dengan perubahan kimia: penggunaan obat-obat farmasi.
3. Kekurangan volume cairan, resiko
tinggi terhadap pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses/prosedur
medis/adanya rasa mual).
4. Nyeri (akut) berhubungan dengan
gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas otot.
5. Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan interupsi mekanisme pada kulit/jaringan.
6. Resiko tinggi infeksi berubungan
dengan luka oprasi dan prosedur invasif.
7. Gangguan kebutuhan tidur berhubungan
dengan proses penyakit, efek hospitalisasi, perubahan lingkungan
8. Kurang pengetahuan (kebutuhan
belajar) tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan.
C.
INTERVENSI KEPERAWATAN.
Intervensi
/ Perencanaan berdasarkan Doenges,E.M (2010) perawatan pasien pasca operatif :
1. Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan ketidakseimbangan perseptual/kognitif.
Tujuan : pola pernapasan
normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-tanda hipoksia.
Intervensi :
a. Pertahankan jalan udara pasien
memiringkan kepala
b. Auskultasi suara napas.
c. Observasi frekuensi dan kedalaman
pernapasan, pemakaian otot-otot bantu pernapasan.
d. Pantau tanda-tanda vital secara
terus-menerus
e. Lakukan gerak sesegera mungkin
f. Observasi terjadinya yang berlebih
g. Lakukan penghisapan lendir bila
perlu
h. Berikan tambahan oksigen sesuai
kebutuhan
i.
Berikan terapi sesuai instruksi
2. Perubahan persepsi/sensori: proses
pikir berhubungan dengan penggunaan obat-obatan farmasi.
Tujuan: meningkatnya tingkat
kesadaran
Intervensi:
a. Orientasikan kembali pasien secara
terus-menerus setelah keluar dari pengaruh anestasi.
b. Bicara dengan pasien dengan suara
yang jelas dan normal.
c. Minimalkan diskusi yang bersifat
negatif.
d. Gunakan bantalan pada tepi lakukan
pengikatan jika perlu.
e. Observasi akan adanya halusinasi,
depresi dan lain-lain.
f. Pertahankan lingkungan tenang dan
nyaman.
3. Resiko tinggi terhadap kekurangan
volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral
(proses penyakit/prosedur medis/adanya rasa mual)
Tujuan: terdapat keseimbangan cairan
yang adekuat.
Intervensi:
a.
Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran.
b.
Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur
operasi yang dilakukan.
c.
Pantau tanda-tanda vital.
d.
Catat munculnya mual/muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan.
e.
Periksa pembalut, alat drein pada interval regular, kaji
luka untuk terjadinya pembengkakan.
f.
Berikan cairan parenteral, produksi darah dan/atau plasma
ekspander sesuai petunjuk. Tingkat kecepatan IV jika diperlukan.
g.
Berikan kembali pemasukan oral secara berangsur-angsur
sesuai petunjuk.
h.
Berikan antiemetik sesuai kebutuhan.
4. Nyeri berhubungan dengan gangguan
pada kulit, jaringan dan integritas otot, trauma musculoskeletal/tulang,
munculnya saluran dan selang.
Tujuan: rasa nyeri/sakit telah
terkontrol/dihilangkan, klien dapat beristirahat dan beraktifitas sesuai
kemampuan.
Intervensi:
a.
Kaji skala nyeri, intensitas, dan frekuensinya.
b.
Evaluasi rasa sakit secara regular.
c.
Kaji tanda-tanda vital.
d.
Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin sesuai prosedur operasi.
e.
Letakkan reposisi sesuai petunjuk.
f.
Dorong penggunaan teknik relaksasi.
g.
Berikan obat sesuai petunjuk.
5. Kerusakan integeritas kulit
berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan kesehatan.
Tujuan: klien memperlihatkan
tindakan untuk meningkatan metabolik.
Intervensi:
a. Kaji kembali kemampuan dan keadaan
secara fungsional
b. Letakkan klien pada posisi tertentu.
c. Pertahankan kesejahteraan tubuh
secara fungsional.
d. Bantu atau tindakan untuk melakukan
latihan rentang gerak.
e. Berikan perawatan kulit dengan
cermat.
f. Pantau haluaran urine.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan
dengan luka operasi dan prosedur invasif.
Tujuannya; tidak terdapat
tanda-tanda dan gejala infeksi
Intervensi:
a.
Berikan perawatan aseptik dan anti septik, pertahankan cuci
tangan yang baik.
b.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (luka
jahitan) daerah yang terpasan alat invasif.
c.
Pantau seluruh tubuh secara teratur, catat adanya demam,
menggigil dan diaphoresis
d.
Awasi atau jumlah penggunjung
e.
Observasi warna dan kejarnya uring
Berikan anti biotik sesuai indikasi
7. Gangguan kebutuhan istrahat tidur
berhubungan dengan perubahan lingkungan dan efek hopitalisasi.
Tujuan: kebutuhan istrahat dapat
terpenuhi
Intervensi:
a. Kaji kemampuan dan kebiasaan tidur
klien
b. Berikan tempat tidur yang nyaman
dengan beberapa barang milik pribadinya contoh : Sarung, guling
c. Dorong aktifitas ringan
d. Intruksikan tindakan relaksasi
e. Dorong keluarga untuk selalu
menemani.
f. Awasi dan batasi jumlah penggunjung.
8. Kurang pengetahuan (kebutuhan
belajar) tentang kondisi/situasi, pragnosis kebutuhan pengobatan.
Tujuan: Menyatakan, pemahaman proses
penyakit/pragnosis.
Intervensi:
a.
Tinjau ulang pembedahan/prosedur khusus yang dilakukan dan
harapan masa dating.
b.
Diskusikan terapi obat-obatan, meliputi penggunaan resep.
c.
Indentifkasi keterbatasan aktivitas khusus.
d.
Jadwalkan priode istirahat adekuat.
e.
Tekankan pentingnya kunjungan lanjut.
f.
Libatkan orang terkenal dalam program pengajaran.
Menyediakan instruksi tertulis/materi pengajaran.
g.
Ulangi pentingnya diita nutrisi dan pemasukan cairan
adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
Aru, W. Sudoyo, dkk.(2006). Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi Empat.Jakarta : Balai
Penerbitan FK-UI.
Bruner dan Suddarth.( 2000 ). BukuAjaran
KMB. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Cameeron.(1995). Prinsip-prinsip
Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara.
Doenges,
E., Moorhouse, MF dan Geissler, A. (2010).Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta
: EGC.
Harjono, dkk.(1996). Kamus Kedokteran Dorland.Edisi 26.
Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Mansjoer, Arief. dkk. (2001). Kapita Selekta Kedokteran;
Jilid 1, Edisi Ketiga.Jakarta : Media Aesculapius. Halaman 512.
Microsoft Encantta Reference
Library.( 2004 ). Liver, Amebiasis Abses and Calf Diphteria/ Fusa bakteriun
necrosphorum.
Sherwood. (2001). System Pencernaan, dalam Fisiologi
Manusia dari Sel ke sistem.Jakarta : EGC. Halaman 565.
Sylvia a. Price.(2006). Gangguan System Gastro
Intestinal, dalam buku Patofiologi.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteranm EGC.
Halaman 472-474.
0 komentar:
Posting Komentar