Home » » Laporan Pendahuluan Benigna Hypertropy Prostat

Laporan Pendahuluan Benigna Hypertropy Prostat

Benigna Hypertropy Prostat
  1. Definisi
  2. Hiperplasia nodular (Benign Prostat Hiperplasia) adalah kelainan yang sangat sering dijumpai pada pria berusia diatas 50 tahun. Kelainan ini di tandai dengan hiperplasia sel stroma dan epitel prostat sehingga terbentuk nodul-nodul diskret besar di regio periuretra prostat. Jika cukup besar ,nodus-nodus ini menekan dan mempersempit kanalis uretra sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau kadang kadang total uretra (Robins & Contran, 2010).
    Kelenjar prostat yang mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra. Kondisi ini dikenal sebagai hiperplasia prostatik jinak (BPH), pembesaran, atau hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas 60 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).
    BPH merupakan kelainan yang terjadi akibat penuaan, prevalensi dari 25% pada usia 40-49 tahun menjadi 80% pada usia 70-79 tahun. Walaupun pada pria yang secara histilogi di diagnosis BPH tidak menampakan gejala, namun pada 50% kasus yang berusia diatas 60 tahun, memiliki gejala LUTS (lower Urinary tractus Syndrom) ( Bery et al dikutip dalam Sarma & Wei, 2012).

  3. Etiologi
  4. Penyebab BPH kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan perubahan hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum menurun, dan kadar estrogen serum meningkat. Terdapat teori bahwa rasio estrogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang hiperplasia jaringan prostat (Price & Wilson, 2005)
    Dihidrotestosteron (DHT) merupakan metabolit testosteron yang merupakan mediator utama pertumbuhan prostat. Zat ini disintesis diprostat dari testosteron darah oleh kerja enzim 5alfa-reduktase, tipe 2. Enzim ini terutama terletak di sel stroma. Oleh karena itu sel-sel ini merupakan tempat utama sintesis DHT. Setelah terbentuk, DHT dapat bekerja secara autokrin pada sel stroma atau parakrin dengan cara berdifusi ke sel epitel sekitar. Di kedua sel ini DHT berikatan dengan reseptor androgen di nukleus dan menyebabkan transkripsi faktor pertumbuhan yang bersifat mitogenik bagi sel epitel dan sel stroma. Meskipun testosteron dapat berikatan dengan reseptor androgen dan menyebabkan pertumbuhan, namun DHT memiliki kemampuan 10x lebih kuat karena lebih lambat terlepas dari reseptor androgen. Walaupun DHT merupakan faktor trofik utama yang memperantarai hiperplasia prostat, tampaknya esterogen juga ikut berperan, mungkin dengan membuat sel lebih peka terhadap kerja DHT. Interaksi stroma epitel yang diperantarai oleh faktor pertumbuhan peptida juga merupakan bagian integral dari proses ini. Selain akibat efek mekanis prostat yang membesar, gejala klinis sumbatan saluran kemih bagian bawah juga disebabkan oleh kontraksi otot polos prostat. Tegangan pada otot prostat diperantarai oleh adrenoreseptor alfa1 yang terletak distroma prostat. Ini merupakan dasar pemakaian antagonis reseptor adrenergik alfa untuk mengatasi obstruksi aliran kemih pada pasien dengan BPH (Robins & Contran, 2010).
    Pentingnya DHT dalam proses pembentukan hiperplasia prostat didukung oleh pengamatan klinis pemberian inhibitor 5 alfa- reduktase pada pria dengan gangguan ini. Terapi dengan inhibitor 5alfa-reduktase sangat mengurangi kandungan DHT prostat dan pada sejumlah kasus terjadi penurunan volume prostat dan ostruksi urine. Kenyataan bahwa tidak semua pasien yang memperoleh manfaat dari terapi yang menghambat androgen, mengisyaratkan bahwa hiperplasia prostat secara etiologis bersifat heterogen dan pada sebagian kasus, faktor lain diluar androgen mungkin lebih penting(Robins & Contran, 2010).

  5. Perjalanan Penyakit
  6. Gejala hiperplasia nodular jika ada, berkaitan dengan efek sekunder:
    1. Penekanan uretra disertai dengan kesulitan berkemih,
    2. Retensi urine dikandung kemih yang kemudian menyebabkan peregangan dan hipertrofi kandung kemih, ISK, sistitis dan infeksi ginjal.
    3. Pasien mengalami nokturia, kesulitan memulai dan menghentikan aliran urine, kemudian tumpah menetes dan pasien mengalami disuria (Robins & Contran, 2010).
    4. Kompleks gejala obstruktif dan iritatif meliputi peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan berkemih, anyang- anyangan, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus mengejan saat BAK, aliran urine tidak lancar, dribling ( urin terus menetes setelah berkemih), rasa kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urin akut ( bila lebih dari 60 ml urin tetap ada dalam kandung kemih setelah berkemih), dan ISK (Smelzer & Bare, 2002).
    Pada banyak kasus timbul retensi urine akut tanpa sebab yang jelas dan menetap sehingga perlu dilakukan kateterisasi darurat. Selain kesulitan berkemih, hiperplasia prostat juga mneyebabkan kandung kemih tidak dapat dikosongkan secara tuntas. Diperkirakan ketidakmampuan ini disebabkan oleh bertambah tingginya dasar uretra sehingga pada akhir berkemih, tersisa urin dalam jumlah yang bayak. Urine sisa ini menjadi cairan statis yang rentan infeksi. Oleh karena itu kateterisasi atau manipulasi menyebabkan masuknya organisme dan pielonefritis.
    Banyak perubahan sekunder terjadi dikandung kemih, misalnya hipertropi, trabekulasi, dan pembentukan divertikulum. Dapat terjadi hidronefrosis atau retensi akut, disertai retensi sekunder saluran kemih bahkan azotemia( penumpukan residu nitogen dalam darah) atau uremia.

  7. Patofisiologi
  8. Menurut Masjoer (2000), proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sikulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
    Adapun patofisiologi dari masing-masing gelaja adalah :
    1. enurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.
    2. Hesitancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
    3. Intermittency terjadi karena dtrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
    4. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
    5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
    6. Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan destrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
    7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan sfingter.
    Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu:
    1. Rectal grading
    2. Recthal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian. Dengan rectal toucher diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum. Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. (Masjoer,2000).
      Pembagian grade sebagai berikut :
      0 – 1 cm……….: Grade 0
      1 – 2 cm……….: Grade 1
      2 – 3 cm……….: Grade 2
      3 – 4 cm……….: Grade 3
      Lebih 4 cm…….: Grade 4
      Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal grading maka didapatkan kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting untuk menentukan macam tindakan operasi yang akan dilakukan. Bila kecil (grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R (Trans Urethral Resection). Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan prostatektomy terbuka secara trans vesical.
    3. Clinical grading
    4. Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine. Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur disuruh kemih sampai selesai, kemudian dimasukkan catheter ke dalam kandung kemih untuk mengukur sisa urine (Masjoer,2000).
      Sisa urine 0 cc……………….…… Normal
      Sisa urine 0 – 50 cc…………….… Grade 1
      Sisa urine 50 – 150 cc……………. Grade 2
      Sisa urine >150 cc………………… Grade 3
      Sama sekali tidak bisa kemih…… Grade 4
  • Intra urethra grading

  • Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan sudah menjadi bidang dari urology yang spesifik.Efek yang dapat terjadi akibat hypertropi prostat (Masjoer,2000).


  • Manifestasi klinik

  • Kompleks gejala obstruktif dan iritatif (disebut protatisme) mencakup peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, abdomen tegang, volume urin menurun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urin tidak lancar, dribbling (dimana urin terus menetes setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urin akut (bila lebih dari 60 ml urin tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih), dan kekambuhan infeksi saluran kemih. Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Smeltzer & Bare, 2001).


  • Komplikasi

  • Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi (Masjoer, 2000).
    Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu ini dapat menambah keluhan irirtasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid (Masjoer, 2000).


  • Pemeriksaan penunjang

    1. Pemeriksaan urin residu
    2. Pemeriksaan ultra sonografi (USG)
    3. Dapat dilakukan dari supra pubic atau transrectal (Trans Rectal Ultra Sonografi :TRUS). Untuk keperluan klinik supra pubic cukup untuk memperkirakan besar dan anatomi prostat, sedangkan TRUS biasanya diperlukan untuk mendeteksi keganasan.
    4. Pemeriksaan endoscopy
    5. Bila pada pemeriksaan rectal toucher, tidak terlalu menonjol tetapi gejala prostatismus sangat jelas atau untuk mengetahui besarnya prostat yang menonjol ke dalam lumen.
    6. Pemeriksaan radiologi
    7. Dengan pemeriksaan radiologi seperti foto polos perut dan pyelografi intra vena yang sering disebut IVP (Intra Venous Pyelografi) dan BNO (Buich Nier Oversich). Pada pemeriksaan lain pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek irisan kontras pada dasar kandung kemih dan ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail/pancing (fisa hook appearance).
    8. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
    9. Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya.
    10. Pemeriksaan sistografi
    11. Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
    12. Pemeriksaan lain
    13. Secara spesifik untuk pemeriksaan pembesaran prostat jinak belum ada, yang ada ialah pemeriksaan penanda adanya tumor untuk karsinoma prostat yaitu pemeriksaan Prostatic Spesifik Antigen (PSA), angka penggal PSA ialah 4 nanogram/ml


  • Penatalaksanaan

    1. Konservatif
    2. Kasus BPH ringan dapat ditangani tanpa terapi medis ataupun bedah, misalnya dengan mengurangi asupan cairan, terutama sebelum tidur, mengurangi asupan alkohol, dan minuman yang mengandung kafein dan BAK secara teratur. Terapi medis yang sering digunakan dan manjur untuk gejala yang berkaitan dengan hiperplasia adalah penghambat alfa yang mengurangi tonus otot polos prostat melalui inhibisi reseptor adrenergik alfa1 (misalnya: terazosin). Terapi farmakologis lainnya yang umum digunakan bertujuan untuk mengurangi gejala dengan menciutkan ukuran prostat dengan obat yang menghambat DHT (antiandrogen seperti finasteride (Proscar)). Pada penelitian klinis, hal ini efektif untukmencegah perubahan testosteron menjadi hidrotestosteron. Namun terapi ini memiliki efek samping yaitu ginekomastia (pembesaran payudara), disfungsi erektil dan wajah kemerahan (Basuki, 2007).
      Selain hal tersebut diatas, terdapat juga metode lain yaitu “watch-ful waiting” dimana pasien dipantau secar periodik terhadap keparahan gejala, temuan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan uji urologik (AHCPR, 1994 dalam Smelzer & Bare,2002).
      Pengobatan konservatif bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan pembesaran prostat. Tindakan dilakukan bila terapi operasi tidak dapat dilakukan, misalnya: menolak operasi atau adanya kontra indikasi untuk operasi.Tindakan terapi konservatif yaitu :
      1. Mengusahakan agar prostat tidak mendadak membesar karena adanya infeksi sekunder dengan pemberian antibiotika.
      2. Bila retensi urine dilakukan catheterisasi.


  • Operatif

  • Untuk kasus sedang dan berat yang tidak dapat diatasi dengan terapi medis, tersedia berbagai pilihan prosedur invasif. Pada waktu pembedahan kelenjar prostat diangkat utuh dan jaringan soft tissue yang mengalami pembesaran diangkat melalui 4 cara yaitu:
    1. TURP (trans urethral resection of prostat)
    2. Dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus medial yang langsung mengelilingi urethra. Jaringan yang direseksi hanya sedikit sehingga tidak terjadi perdarahan dan waktu pembedahan tidak terlalu lama. Rectoscope disambungkan dengan arus listrik lalu di masukkan ke dalam urethra.Kandung kemih di bilas terus menerus selama prosedur berjalan.Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng logam yang di beri pelumas di tempatkan pada bawah paha.Kepingan jaringan yang halus di buang dengan irisan dan tempat-tempat perdarahan di tutup dengan cauter (Basuki, 2007).
      Setelah TURP di pasang catheter Foley tiga saluran yang di lengkapi balon 30 ml.Setelah balon catheter di kembangkan, catheter di tarik ke bawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat.Ukuran catheter yang besar di pasang untuk memperlancar pengeluaran gumpalan darah dari kandung kemih(Basuki, 2007).
      Kandung kemih diirigasi terus dengan alat tetesan tiga jalur dengan garam fisiologis atau larutan lain yang di pakai oleh ahli bedah.Tujuan dari irigasi konstan ialah untuk membebaskan kandung kemih dari bekuan darah yang menyumbat aliran kemih.Irigasi kandung kemih yang konstan di hentikan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan dari kandung kemih.Kemudian catheter bisa dibilas biasa tiap 4 jam sekali sampai catheter di angkat biasanya 3 sampai 5 hari setelah operasi.Setelah catheter di angkat pasien harus mengukur jumlah urine dan waktu tiap kali berkemih(Basuki, 2007).
      TURP efektif guna mengurangi gejala, memperbaiki laju aliran kemih, dan mengurangi volume urin sisa. Tindakan ini diindikasikan sebagai tindakan lini pertama pada kasus-kasus tertentu, misalnya infeksi saluran kemih berulang. Namun karena morbiditas dan biayanya, maka dikembangkan prosedur alternatif yakni : High intensity focused ultrasound, terapi laser, hipertermia, elektrovaporasi trans uretra, stent intrauretra dan ablasio jarum transuretra dengan menggunakan radiofrequency(Basuki, 2007).
      Keuntungan tindakan TURP adalah dapat mempersingkat hari rawat dan jarang menyebabkan disfungsi erektil, namun kerugiannya adalah dapat mengakibatkan terjadinya striktur uretra, sehingga mungkin harus dilakukan tindakan ulang dan ejakulasi retrograde, karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang kedalam kandung kemih dan bukan kedalam uretra(Basuki, 2007).
    3. Suprapubic Prostatectomy.
    4. Metode operasi terbuka, dengan cara mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas, dapat digunakan untuk berbagai ukuran namun, kerugianya adalah berbagai komplikasi dapat terjadi, misalnya kehilangan darah yang lebih banyak dari operasi lainnya, dapat disertai dengan bahaya dari semua prosedur bedah mayor abdomen(Basuki, 2007).
    5. Retropubic Prostatectomy
    6. Pada prostatectomy retropubic dibuat insisi pada abdominal bawah antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Keuntungannya perdarajhan dapat dikontrol namun kerugianya infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis(Basuki, 2007).
    7. Perineal prostatectomy.
    8. Adalah mengangkat kelenjar prostat melalui insisi perineum. Pendekatan ini lebih praktis ketika pendekatan lainya tidak memungkinkan dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Namun karena insisi dilakukan dekat dengan rektum, maka infeksi pasca operasi lebih mudah terjadi. Selain itu dapat terjadi komplikasi seperti inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal(Basuki, 2007).


    DAFTAR PUSTAKA
    Masjoer, A., dkk., (2000). Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
    Price & Wilson, (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC.
    Smeltzer & Bare, (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Vol.2. Ed.8. Jakarta: EGC
    Sarma & Wei, (2012) Benign prostatic hyperplasia and lower urinary tract symptoms, clinical practice.NEJM Org. 367:3.
    Kumar, Abbas & Fausto (2010), Robins and Contran : Patologi Klinik
    Download LP BPH
    Download PKDM

    0 komentar:

    Translate