LOW BACK PAIN (LBP)

NYERI PUNGGUNG BAWAH (LOW BACK PAIN / LBP)
  1. Defenisi
  2. Nyeri punggung bawah adalah perasaan nyeri di daerah lumbasakral dan sakroiliakal, nyeri pinggang bawah ini sering disertai penjalaran ketungkai sampai kaki. (Harsono, 2000)

    Low Back Pain adalah suatu tipe nyeri yang membutuhkan pengobatan medis walaupun sering jika ada trauma secara tiba-tiba dan dapat menjadi kronik pada masalah kehidupan seperti fisik,mental,social dan ekonomi (Barbara).

    Low Back Pain adalah nyeri kronik didalam lumbal,biasanya disebabkan oleh terdesaknya para vertebral otot, herniasi dan regenerasi dari nucleus pulposus,osteoartritis dari lumbal sacral pada tulang belakang (Brunner,1999).

    Low back pain dapat terjadi pada siapasaja yang mempunyai masalah pada muskuloskeletal seperti ketegangan lumbosacral akut,ketidakmampuan ligamen lumbosacral, kelemahan otot, osteoartritis, spinal stenosis serta masalh pada sendi inter vertebra dan kaki yang tidak sama panjang.

    Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan Low Back Pain adalah nyeri kronik atau acut didalam lumbal yang biasanya disebabkan trauma atau terdesaknya otot para vertebra atau tekanan,herniasi dan degenerasi dari nuleus pulposus,kelemahan otot,osteoartritis dilumbal sacral pada tulang belakang.


  3. Etiologi
    1. Perubahan postur tubuh biasanya karena trauma primer dan sekunder.
      • Trauma primer seperti : Trauma secara spontan, contohnya kecelakaan.
      • Trauma sekunder seperti : Adanya penyakit HNP, osteoporosis, spondilitis, stenosis spinal, spondilitis,osteoartritis.
    2. Ketidak stabilan ligamen lumbosacral dan kelemahan otot.
    3. Prosedur degenerasi pada pasien lansia.
    4. Penggunaan hak sepatu yang terlalu tinggi.
    5. Kegemukan.
    6. Mengangkat beban dengan cara yang salah.
    7. Keseleo.
    8. Terlalu lama pada getaran.
    9. Gaya berjalan.
    10. Merokok.
    11. Duduk terlalu lama.
    12. Kurang latihan (olah raga).
    13. Depresi /stress.
    14. Olahraga (golf,tennis,sepak bola).

  4. Faktor Resiko
  5. Faktor resiko secara fisiologi.

    1. Spinal stenosis ( penyempitan tulang belakang )
    2. Osteoporosis
    3. Merokok

    Faktor resiko dari lingkungan.

    1. Duduk terlalu lama
    2. Terlalu lama pada getaran
    3. Keseleo atau terpelintir
    4. Olah raga ( golf,tennis,gymnastik,dan sepak bola )
    5. Vibrasi yang lama

    Faktor resiko dari psikososial.

    1. Ketidak nyamanan kerja
    2. Depresi
    3. Stress

  6. Patofisiologi
    1. Mekanisme terjadinya nyeri pada Low Back Pain
    2. Nyeri yang ada pada low Back Pain 2 macam
      1. Nyeri Nosiseptif
      2. Nyeri Neuropatik

      Bangunan peka nyeri yang terdapat di punggung bawah adalah periosteum, 1/3 bangunan luar annulus fibroseptor (bagian fibrosa dari diskus intervertebralis) ligamentum kapsula artikularis, fasia dan otot. Semua banguan tersebut mengandung nosiseptor yang peka terhadap berbagai stimulus(mekanik, termal, kimiawi). Bila reseptor dirangsang oleh sebagian stimulus lokal akan, dijawab dengan pengeluaran sebagai mediator inflamasi dan substansia lainnya yang menyebabkan timbulnya persepsinyeri., hiperalgesia maupun alodinia yang bertujuan mencegah pergerakan untuk memungkinkan berlangsung proses penyembuhan. Salah satu mekanisme untuk mencegah kerusakan yang lebih berat adalah spasme otot yang membatasi pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan iskemia dan sekaligus menyebabkan munculnya titik picu (trigger points) yang merupakan salah satu kondisi nyeri. Pembungkus syaraf juga, kaya akan nosiseptor yang merupakan akhiran dari nervi nervorum yang juga berperan sebagai sumber nyeri nosiseptif inflamasi, terutama nyeri yang dalam dan sulit dilokalisir. Berbagai jenis rangsangan tadi akan mengantisipasi nosiseptor, langsung menyebabkan nyeri dan sensitisasi menyebabkan hiperalgesia. Nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas nosiseptor ini disebut nyeri nosiseptif.

    3. Mekanisme Nyeri Neurepatik Pada LBP
    4. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada system syaraf. Nyeri neuropatik yang sering ditemukan pada LBP berupa penekanan atau jeratan radiks syaraf oleh karena Hernia Nukleus Pulposus (HNP, penyempitan kanalis spinalis, pembengkaan artikulasio atau jaringan sekitarnya, fraktur mikro (misalnya penderita osteoporosis), penekanan oleh tumor dan sebagainya.

      Penanganan pada radiks saraf, terdapat 2 kemungkinan:
      1. Penekanan hanya terjadi pada selaput pembungkus syaraf yang kaya nosiseptor dari nervi nervorum, yang menimbulkan inflamasi, nyeri dirasakan distribusi serabut syaraf tersebut. nyeri bertambah jika terdapat peperangan serabut syarap, misalnya karena pergerakan.
      2. Penekanan sampai mengenai serabut syaraf, sehingga ada kemungkinan terjadi gangguan keseimbangan neuron sensorik melalui pelabuhan molekuler. Perubahan molekuler menyebabkan aktivitas SSA menjadi abnormal, timbul aktifitas ektopik (aktivitas di luar nosiseptor), akumulasi saluran ion Natrium (SI-Na dan saluran ion baru di daerah lesi). Penumpukan SI-Na naupun saluran ion baru didaerah lesi menyebabkan timbulnya mechsno-hot- sopt yang sangat peka terhadap rangsangan mekanikal maupun termal(hiperagesia mekanikal dan termal). Ditemukan juga pembentukan reseptor adrener menyebabkan stress psikologi yang mampu memperberat nyeri. Aktivitas ektopik menyebabkan timbulnya nyeri neuropatik baik yang sepontan seperti parestesia, disestisia, nyeri seperti kesetrum dan sebagainya, yang membedakan dengan nyeri inflamasi maupun yamg dibangkitkan seperti hiperal dan alodinia. Terjadinya hiperalgesia dan alodinia pada nyeri ncuropatik juga disebabkan oleh adanya fenomena wind-up, LTP dan perubahan fenotip AB. Pada nyeri nosiseptif, inhibisi meningkat sedang pada nyeri neuropatik terutama disebabkan penurunan reseptor opioid di neuron kornu dorsalis dan peningkatan cholesystokinin (CCK) yang menghambat kerja reseptor opioid.

  7. Manifestasi Klinik
    1. Perubahan dalam gaya berjalan
      • Berjalan terasa kaku
      • Tidak bias memutar punggung
      • Pincang
    2. Persyarafan
      • Ketika dites dengan cahaya dan sentuhan dengan peniti,pasien merasakan sensasi pada kedua anggota badan,tetapi mengalami sensasi yang lebih kuat pada daerah yang tidak dirangsang
      • Tidak terkontrol Bab dan Bak
    3. Nyeri
      • Nyeri punggung akut maupun kronis lebih dari dua bulan
      • Nyeri saat berjalan dengan menggunakan tumit
      • Nyeri otot dalam
      • Nyeri menyebar kebagian bawah belakang kaki
      • Nyeri panas pada paha bagian belakang atau betis
      • Nyeri pada pertengahan bokong
      • Nyeri berat pada kaki semakin meningkat
  8. Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain / LBP)
    1. Penata Laksanaan Keperawatan
      1. Informasi dan edukasi
      2. Pada NPB akut : Imobilisasi (lamanya tergantung kasus), pengaturan berat badan, posisi tubuh dan aktivitas, modalitas termal (terapi panas dan dingin) masase, traksi (untuk distraksi tulang belakang), latihan : jalan, naik sepeda, berenang (tergantung kasus), alat Bantu (antara lain korset, tongkat)
      3. NPB kronik: psikologik, modulasi nyeri (TENS, akupuntur, modalitas termal), latihan kondisi otot, rehabilitasi vokasional, pengaturan berat badan posisi tubuh dan aktivitas
    2. Medis
      1. Formakoterapi
        • NPB akut: Asetamenopen, NSAID, muscle relaxant, opioid (nyeri berat), injeksi epidural (steroid, lidokain, opioid) untuk nyeri radikuler
        • NPB kronik : antidepresan trisiklik (amitriptilin) antikonvulsan (gabapentin, karbamesepin, okskarbasepin, fenitoin), alpha blocker (klonidin, prazosin), opioid (kalau sangat diperlukan)
      2. Invasif non bedah
        • Blok saraf dengan anestetik lokal (radikulopati)
        • Neurolitik (alcohol 100%, fenol 30 % (nyeri neuropatik punggung bawah yang intractable)
      3. Bedah
      4. HNP (Hernia Nukleus Pulposus), indikasi operasi :
        • Skiatika dengan terapi konservatif selama lebih dari empat minggu: nyeri berat/intractable / menetap / progresif.
        • Defisit neurologik memburuk
        • Sindroma kauda
        • Stenosis kanal : setelah terjadi konservatif tidak berhasil
        • Terbukti adanya kompresi radiks berdasarkan pemeriksaan neurofisiologik dan radiologik.

    3. Pemeriksaan Diagnostik
      1. Neurofisiologik
        • Electromyography (EMG)
        • Need EMG dan H-reflex dianjurkan bila dugaan disfungsi radiks lebih dari 3-4 minggu
        • Bila diagnosis radikulapati sudah pasti secara pemeriksaan klinis, pemeriksaan elektrofisiologik tidak dianjurkan
        • Somatosensory Evoked Potensial (SSEP). Berguna untuk stenosis kanal dan mielopati spinal.
      2. Radiologik
        • Foto polos.
        • Tidak direkomendasikan untuk evaluasi rutin penderita NPB.
        • Direkomendasikan untuk menyampingkan adanya kelainan tulang.
        • Mielografi, mielo-CT, CT-Scan, Magnetik Resonance Imaging (MRI)
        • Diindikasikan untuk mencari penyebab nyeri antara lain tumor, HNP perlengketan
        • Discography tidak direkomendasikan pada NPB oleh karena invasive
      3. Laboratorium
        • Laju endap darah, darah perifer lengkap, C-reactif protein (CRP), faktor rematoid, fosfatase alkali / asam, kalsium (atas indikasi)
        • Urinalisa, berguna untuk penyakit non spesifik seperti infeksi, hematuri
        • Likuor serebrospinal (atas indikasi)


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth,(2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, Alih Bahasa Monica Ester, SKP , EGC, Jakarta,
Brunner & Suddarth,(2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, Alih Bahasa Monica Ester, SKP .EGC, Jakarta,
Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000
Wilkinson. M.J (2012), Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Edisi 9, EGC, Jakarta

Download PKDM LBP disini
Download Artikel LBP Disini

Laporan Pendahuluan Benigna Hypertropy Prostat

Benigna Hypertropy Prostat
  1. Definisi
  2. Hiperplasia nodular (Benign Prostat Hiperplasia) adalah kelainan yang sangat sering dijumpai pada pria berusia diatas 50 tahun. Kelainan ini di tandai dengan hiperplasia sel stroma dan epitel prostat sehingga terbentuk nodul-nodul diskret besar di regio periuretra prostat. Jika cukup besar ,nodus-nodus ini menekan dan mempersempit kanalis uretra sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau kadang kadang total uretra (Robins & Contran, 2010).
    Kelenjar prostat yang mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra. Kondisi ini dikenal sebagai hiperplasia prostatik jinak (BPH), pembesaran, atau hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas 60 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).
    BPH merupakan kelainan yang terjadi akibat penuaan, prevalensi dari 25% pada usia 40-49 tahun menjadi 80% pada usia 70-79 tahun. Walaupun pada pria yang secara histilogi di diagnosis BPH tidak menampakan gejala, namun pada 50% kasus yang berusia diatas 60 tahun, memiliki gejala LUTS (lower Urinary tractus Syndrom) ( Bery et al dikutip dalam Sarma & Wei, 2012).

  3. Etiologi
  4. Penyebab BPH kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan perubahan hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum menurun, dan kadar estrogen serum meningkat. Terdapat teori bahwa rasio estrogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang hiperplasia jaringan prostat (Price & Wilson, 2005)
    Dihidrotestosteron (DHT) merupakan metabolit testosteron yang merupakan mediator utama pertumbuhan prostat. Zat ini disintesis diprostat dari testosteron darah oleh kerja enzim 5alfa-reduktase, tipe 2. Enzim ini terutama terletak di sel stroma. Oleh karena itu sel-sel ini merupakan tempat utama sintesis DHT. Setelah terbentuk, DHT dapat bekerja secara autokrin pada sel stroma atau parakrin dengan cara berdifusi ke sel epitel sekitar. Di kedua sel ini DHT berikatan dengan reseptor androgen di nukleus dan menyebabkan transkripsi faktor pertumbuhan yang bersifat mitogenik bagi sel epitel dan sel stroma. Meskipun testosteron dapat berikatan dengan reseptor androgen dan menyebabkan pertumbuhan, namun DHT memiliki kemampuan 10x lebih kuat karena lebih lambat terlepas dari reseptor androgen. Walaupun DHT merupakan faktor trofik utama yang memperantarai hiperplasia prostat, tampaknya esterogen juga ikut berperan, mungkin dengan membuat sel lebih peka terhadap kerja DHT. Interaksi stroma epitel yang diperantarai oleh faktor pertumbuhan peptida juga merupakan bagian integral dari proses ini. Selain akibat efek mekanis prostat yang membesar, gejala klinis sumbatan saluran kemih bagian bawah juga disebabkan oleh kontraksi otot polos prostat. Tegangan pada otot prostat diperantarai oleh adrenoreseptor alfa1 yang terletak distroma prostat. Ini merupakan dasar pemakaian antagonis reseptor adrenergik alfa untuk mengatasi obstruksi aliran kemih pada pasien dengan BPH (Robins & Contran, 2010).
    Pentingnya DHT dalam proses pembentukan hiperplasia prostat didukung oleh pengamatan klinis pemberian inhibitor 5 alfa- reduktase pada pria dengan gangguan ini. Terapi dengan inhibitor 5alfa-reduktase sangat mengurangi kandungan DHT prostat dan pada sejumlah kasus terjadi penurunan volume prostat dan ostruksi urine. Kenyataan bahwa tidak semua pasien yang memperoleh manfaat dari terapi yang menghambat androgen, mengisyaratkan bahwa hiperplasia prostat secara etiologis bersifat heterogen dan pada sebagian kasus, faktor lain diluar androgen mungkin lebih penting(Robins & Contran, 2010).

  5. Perjalanan Penyakit
  6. Gejala hiperplasia nodular jika ada, berkaitan dengan efek sekunder:
    1. Penekanan uretra disertai dengan kesulitan berkemih,
    2. Retensi urine dikandung kemih yang kemudian menyebabkan peregangan dan hipertrofi kandung kemih, ISK, sistitis dan infeksi ginjal.
    3. Pasien mengalami nokturia, kesulitan memulai dan menghentikan aliran urine, kemudian tumpah menetes dan pasien mengalami disuria (Robins & Contran, 2010).
    4. Kompleks gejala obstruktif dan iritatif meliputi peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan berkemih, anyang- anyangan, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus mengejan saat BAK, aliran urine tidak lancar, dribling ( urin terus menetes setelah berkemih), rasa kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urin akut ( bila lebih dari 60 ml urin tetap ada dalam kandung kemih setelah berkemih), dan ISK (Smelzer & Bare, 2002).
    Pada banyak kasus timbul retensi urine akut tanpa sebab yang jelas dan menetap sehingga perlu dilakukan kateterisasi darurat. Selain kesulitan berkemih, hiperplasia prostat juga mneyebabkan kandung kemih tidak dapat dikosongkan secara tuntas. Diperkirakan ketidakmampuan ini disebabkan oleh bertambah tingginya dasar uretra sehingga pada akhir berkemih, tersisa urin dalam jumlah yang bayak. Urine sisa ini menjadi cairan statis yang rentan infeksi. Oleh karena itu kateterisasi atau manipulasi menyebabkan masuknya organisme dan pielonefritis.
    Banyak perubahan sekunder terjadi dikandung kemih, misalnya hipertropi, trabekulasi, dan pembentukan divertikulum. Dapat terjadi hidronefrosis atau retensi akut, disertai retensi sekunder saluran kemih bahkan azotemia( penumpukan residu nitogen dalam darah) atau uremia.

  7. Patofisiologi
  8. Menurut Masjoer (2000), proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sikulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
    Adapun patofisiologi dari masing-masing gelaja adalah :
    1. enurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.
    2. Hesitancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
    3. Intermittency terjadi karena dtrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
    4. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
    5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
    6. Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan destrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
    7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan sfingter.
    Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu:
    1. Rectal grading
    2. Recthal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian. Dengan rectal toucher diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum. Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. (Masjoer,2000).
      Pembagian grade sebagai berikut :
      0 – 1 cm……….: Grade 0
      1 – 2 cm……….: Grade 1
      2 – 3 cm……….: Grade 2
      3 – 4 cm……….: Grade 3
      Lebih 4 cm…….: Grade 4
      Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal grading maka didapatkan kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting untuk menentukan macam tindakan operasi yang akan dilakukan. Bila kecil (grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R (Trans Urethral Resection). Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan prostatektomy terbuka secara trans vesical.
    3. Clinical grading
    4. Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine. Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur disuruh kemih sampai selesai, kemudian dimasukkan catheter ke dalam kandung kemih untuk mengukur sisa urine (Masjoer,2000).
      Sisa urine 0 cc……………….…… Normal
      Sisa urine 0 – 50 cc…………….… Grade 1
      Sisa urine 50 – 150 cc……………. Grade 2
      Sisa urine >150 cc………………… Grade 3
      Sama sekali tidak bisa kemih…… Grade 4
  • Intra urethra grading

  • Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan sudah menjadi bidang dari urology yang spesifik.Efek yang dapat terjadi akibat hypertropi prostat (Masjoer,2000).


  • Manifestasi klinik

  • Kompleks gejala obstruktif dan iritatif (disebut protatisme) mencakup peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, abdomen tegang, volume urin menurun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urin tidak lancar, dribbling (dimana urin terus menetes setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urin akut (bila lebih dari 60 ml urin tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih), dan kekambuhan infeksi saluran kemih. Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Smeltzer & Bare, 2001).


  • Komplikasi

  • Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi (Masjoer, 2000).
    Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu ini dapat menambah keluhan irirtasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid (Masjoer, 2000).


  • Pemeriksaan penunjang

    1. Pemeriksaan urin residu
    2. Pemeriksaan ultra sonografi (USG)
    3. Dapat dilakukan dari supra pubic atau transrectal (Trans Rectal Ultra Sonografi :TRUS). Untuk keperluan klinik supra pubic cukup untuk memperkirakan besar dan anatomi prostat, sedangkan TRUS biasanya diperlukan untuk mendeteksi keganasan.
    4. Pemeriksaan endoscopy
    5. Bila pada pemeriksaan rectal toucher, tidak terlalu menonjol tetapi gejala prostatismus sangat jelas atau untuk mengetahui besarnya prostat yang menonjol ke dalam lumen.
    6. Pemeriksaan radiologi
    7. Dengan pemeriksaan radiologi seperti foto polos perut dan pyelografi intra vena yang sering disebut IVP (Intra Venous Pyelografi) dan BNO (Buich Nier Oversich). Pada pemeriksaan lain pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek irisan kontras pada dasar kandung kemih dan ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail/pancing (fisa hook appearance).
    8. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
    9. Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya.
    10. Pemeriksaan sistografi
    11. Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
    12. Pemeriksaan lain
    13. Secara spesifik untuk pemeriksaan pembesaran prostat jinak belum ada, yang ada ialah pemeriksaan penanda adanya tumor untuk karsinoma prostat yaitu pemeriksaan Prostatic Spesifik Antigen (PSA), angka penggal PSA ialah 4 nanogram/ml


  • Penatalaksanaan

    1. Konservatif
    2. Kasus BPH ringan dapat ditangani tanpa terapi medis ataupun bedah, misalnya dengan mengurangi asupan cairan, terutama sebelum tidur, mengurangi asupan alkohol, dan minuman yang mengandung kafein dan BAK secara teratur. Terapi medis yang sering digunakan dan manjur untuk gejala yang berkaitan dengan hiperplasia adalah penghambat alfa yang mengurangi tonus otot polos prostat melalui inhibisi reseptor adrenergik alfa1 (misalnya: terazosin). Terapi farmakologis lainnya yang umum digunakan bertujuan untuk mengurangi gejala dengan menciutkan ukuran prostat dengan obat yang menghambat DHT (antiandrogen seperti finasteride (Proscar)). Pada penelitian klinis, hal ini efektif untukmencegah perubahan testosteron menjadi hidrotestosteron. Namun terapi ini memiliki efek samping yaitu ginekomastia (pembesaran payudara), disfungsi erektil dan wajah kemerahan (Basuki, 2007).
      Selain hal tersebut diatas, terdapat juga metode lain yaitu “watch-ful waiting” dimana pasien dipantau secar periodik terhadap keparahan gejala, temuan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan uji urologik (AHCPR, 1994 dalam Smelzer & Bare,2002).
      Pengobatan konservatif bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan pembesaran prostat. Tindakan dilakukan bila terapi operasi tidak dapat dilakukan, misalnya: menolak operasi atau adanya kontra indikasi untuk operasi.Tindakan terapi konservatif yaitu :
      1. Mengusahakan agar prostat tidak mendadak membesar karena adanya infeksi sekunder dengan pemberian antibiotika.
      2. Bila retensi urine dilakukan catheterisasi.


  • Operatif

  • Untuk kasus sedang dan berat yang tidak dapat diatasi dengan terapi medis, tersedia berbagai pilihan prosedur invasif. Pada waktu pembedahan kelenjar prostat diangkat utuh dan jaringan soft tissue yang mengalami pembesaran diangkat melalui 4 cara yaitu:
    1. TURP (trans urethral resection of prostat)
    2. Dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus medial yang langsung mengelilingi urethra. Jaringan yang direseksi hanya sedikit sehingga tidak terjadi perdarahan dan waktu pembedahan tidak terlalu lama. Rectoscope disambungkan dengan arus listrik lalu di masukkan ke dalam urethra.Kandung kemih di bilas terus menerus selama prosedur berjalan.Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng logam yang di beri pelumas di tempatkan pada bawah paha.Kepingan jaringan yang halus di buang dengan irisan dan tempat-tempat perdarahan di tutup dengan cauter (Basuki, 2007).
      Setelah TURP di pasang catheter Foley tiga saluran yang di lengkapi balon 30 ml.Setelah balon catheter di kembangkan, catheter di tarik ke bawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat.Ukuran catheter yang besar di pasang untuk memperlancar pengeluaran gumpalan darah dari kandung kemih(Basuki, 2007).
      Kandung kemih diirigasi terus dengan alat tetesan tiga jalur dengan garam fisiologis atau larutan lain yang di pakai oleh ahli bedah.Tujuan dari irigasi konstan ialah untuk membebaskan kandung kemih dari bekuan darah yang menyumbat aliran kemih.Irigasi kandung kemih yang konstan di hentikan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan dari kandung kemih.Kemudian catheter bisa dibilas biasa tiap 4 jam sekali sampai catheter di angkat biasanya 3 sampai 5 hari setelah operasi.Setelah catheter di angkat pasien harus mengukur jumlah urine dan waktu tiap kali berkemih(Basuki, 2007).
      TURP efektif guna mengurangi gejala, memperbaiki laju aliran kemih, dan mengurangi volume urin sisa. Tindakan ini diindikasikan sebagai tindakan lini pertama pada kasus-kasus tertentu, misalnya infeksi saluran kemih berulang. Namun karena morbiditas dan biayanya, maka dikembangkan prosedur alternatif yakni : High intensity focused ultrasound, terapi laser, hipertermia, elektrovaporasi trans uretra, stent intrauretra dan ablasio jarum transuretra dengan menggunakan radiofrequency(Basuki, 2007).
      Keuntungan tindakan TURP adalah dapat mempersingkat hari rawat dan jarang menyebabkan disfungsi erektil, namun kerugiannya adalah dapat mengakibatkan terjadinya striktur uretra, sehingga mungkin harus dilakukan tindakan ulang dan ejakulasi retrograde, karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang kedalam kandung kemih dan bukan kedalam uretra(Basuki, 2007).
    3. Suprapubic Prostatectomy.
    4. Metode operasi terbuka, dengan cara mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas, dapat digunakan untuk berbagai ukuran namun, kerugianya adalah berbagai komplikasi dapat terjadi, misalnya kehilangan darah yang lebih banyak dari operasi lainnya, dapat disertai dengan bahaya dari semua prosedur bedah mayor abdomen(Basuki, 2007).
    5. Retropubic Prostatectomy
    6. Pada prostatectomy retropubic dibuat insisi pada abdominal bawah antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Keuntungannya perdarajhan dapat dikontrol namun kerugianya infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis(Basuki, 2007).
    7. Perineal prostatectomy.
    8. Adalah mengangkat kelenjar prostat melalui insisi perineum. Pendekatan ini lebih praktis ketika pendekatan lainya tidak memungkinkan dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Namun karena insisi dilakukan dekat dengan rektum, maka infeksi pasca operasi lebih mudah terjadi. Selain itu dapat terjadi komplikasi seperti inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal(Basuki, 2007).


    DAFTAR PUSTAKA
    Masjoer, A., dkk., (2000). Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
    Price & Wilson, (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC.
    Smeltzer & Bare, (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Vol.2. Ed.8. Jakarta: EGC
    Sarma & Wei, (2012) Benign prostatic hyperplasia and lower urinary tract symptoms, clinical practice.NEJM Org. 367:3.
    Kumar, Abbas & Fausto (2010), Robins and Contran : Patologi Klinik
    Download LP BPH
    Download PKDM

    CORONARY ARTERY DISEASE (CAD)

    CORONARY ARTERY DISEASE (CAD)

    CORONARY ARTERY DISEASE (CAD)


    1. DEFINISI
    2. Penyakit arteri koroner (CAD) adalah penyempitan atau penyumbatan arteri koroner, arteri yang menyalurkan darah ke otot jantung. Bila aliran darah melambat, jantung tak mendapat cukup oksigen dan zat nutrisi. Hal ini biasanya mengakibatkan nyeri dada yang disebut angina. Bila satu atau lebih dari arteri koroner tersumbat sama sekali, akibatnya adalah serangan jantung (kerusakan pada otot jantung).( Brunner and Sudarth, 2001).
    3. ETIOLOGI
    4. Penyakit arteri koroner bisa menyerang semua ras, tetapi angka kejadian paling tinggi ditemukan pada orang kulit putih. Tetapi ras sendiri tampaknya bukan merupakan bourgeois penting dalam gaya hidup seseorang. Secara spesifik, faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya penyakit arteri koroner adalah :
      1. Berusia lebih dari 45 tahun (bagi pria).
      2. Sangat penting bagi kaum pria mengetahui usia rentan terkena penyakit jantung koroner. Pria berusia lebih dari 45 tahun lebih banyak menderita serangan jantung ketimbang pria yang berusia jauh di bawah 45 tahun.
      3. Berusia lebih dari 55 tahun atau mengalami menopause dini sebagai akibat operasi (bagi wanita).
      4. Wanita yang telah berhenti mengalami menstruasi (menopause) secara fisiologis ataupun secara dini (pascaoperasi) lebih kerap terkena penyakit jantung koroner apalagi ketika usia wanita itu telah menginjak usila (usia lanjut).
      5. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga
      6. Riwayat penyakit jantung di dalam keluarga sering merupakan akibat dari profil kolesterol yang tidak normal, dalam artian terdapat kebiasaan yang "buruk" dalam segi diet keluarga.
      7. Diabetes.
      8. Kebanyakan penderita diabetes meninggal bukanlah karena meningkatnya level gula darah, namun karena kondisi komplikasi ke jantung mereka.
      9. Merokok. Merokok telah disebut-sebut sebagai salah satu faktor risiko utama penyakit jantung koroner. Kandungan nikotin di dalam rokok dapat merusak dinding (endotel) pembuluh darah sehingga mendukung terbentuknya timbunan lemak yang akhirnya terjadi sumbatan pembuluh darah.
      10. Tekanan darah tinggi (hipertensi).
      11. Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) yang merupakan penyebab penyakit arteri/jantung koroner.
      12. Kegemukan (obesitas).
      13. Obesitas (kegemukan yang sangat) bisa merupakan manifestasi dari banyaknya lemak yang terkandung di dalam tubuh. Seseorang yang obesitas lebih menyimpan kecenderungan terbentuknya plak yang merupakan cikal bakal terjadinya penyakit jantung koroner.
      14. Gaya hidup buruk.
      15. Gaya hidup yang buruk terutama dalam hal jarangnya olahraga ringan yang rutin serta pola makan yang tidak dijaga akan mempercepat seseorang terkena pneyakit jantung koroner.
      16. Stress.
      17. Banyak penelitian yang sudah menunjukkan bahwa bila menghadapi situasi yang tegang, dapat terjadi aritmia jantung yang membahayakan jiwa.

    5. PATOFISIOLOGI

      1. CAD ditandai oleh penyempitan koroner arteri akibat aterosklerosis, spasme atau, jarang, emboli.
      2. Perubahan aterosklerosis pada arteri koroner hasil kerusakan ke lapisan dalam arteri koroner dengan kekakuan pembuluh darah dan respon lalai berkurang.
      3. Akumulasi deposit lemak dan lipid, bersama dengan perkembangan plak fibrosa atas kawasan yang rusak di pembuluh darah, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, sehingga mengurangi ukuran lumen pembuluh darah dan menghambat aliran darah ke jaringan miokard.
      4. Penurunan pengiriman oksigen dan nutrisi ke jaringan menyebabkan iskemia miokard transien dan nyeri.
      5. Penyebab plak arteri mengeras keras, sedangkan plak lembut dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah
      6. Jenis CAD
        1. Stabil
          • Jenis yang paling umum, dipicu oleh aktivitas fisik, stres emosional, paparan suhu panas atau dingin, makanan berat , dan merokok
          • Terjadi dalam pola yang teratur, biasanya berlangsung 5 menit atau kurang, dan mudah hilang dengan obat-obatan
        2. Labil
          • Mungkin onset baru nyeri dengan pengerahan tenaga atau saat istirahat, atau percepatan terbaru dalam keparahan nyeri
          • Terjadi pada tidak ada pola teratur, biasanya berlangsung lebih lama ( 30 menit ), umumnya tidak lega dengan istirahat atau obat-obatan
          • Kadang-kadang dikelompokkan dengan infark miokard ( MI ) di bawah diagnosis sindrom koroner akut ( ACS )
        3. Variant (prinzmetal)
          • Langka , biasanya terjadi saat istirahat - tengah malam hingga dini hari
          • yeri mungkin parah
          • Elektrokardiogram ( EKG ) berubah karena koroner spasme arteri

    6. MANIFESTASI KLINIS
    7. Manifestasi klinis menurut Price & Lorraine (2001) seperti:
      1. Dada terasa tak enak(digambarkan sebagai mati rasa, berat, atau terbakar;dapat menjalar ke pundak kiri, lengan, leher, punggung, atau rahang)
      2. Sesak napas
      3. Berdebar-debar
      4. Denyut jantung lebih cepat
      5. Pusing
      6. Mual
      7. Kelemahan yang luar biasa


  • KOMPLIKASI

    1. Aritmia
    2. Merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan. Aritmia yaitu gangguan dalam irama jantung yang bisa menimbulkan perubahan eloktrofisiologi otot-otot jantung. Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel. Misalnya perangsangan simpatis akan meningkatkan kecepatan denyut jantung.
    3. Gagal Jantung Kongestif
    4. Merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokard. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri akan menimbulkan kongesti pada vena pulmonalis sedangkan pada disfungsi ventrikel kanan akan menimbulkan kongesti pada vena sistemik.
    5. Syok kardikardiogenik
    6. Syok kardiogenik diakibatkan oleh disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif. Timbulnya lingkaran setan perubahan hemodinamik progresif hebat yang irreversible yaitu penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paru yang bisa berakhir dengan kematian.
    7. Disfungsi Otot Papillaris
    8. Disfungsi iskemik atau rupture nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup mitralis. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri sebagai akibat pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.
    9. Ventrikuler Aneurisma
    10. Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan atrium atau apek jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setipa sistolik, teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup. Aneurisma ventrikel dapat menimbulkan 3 masalah yaitu gagal jantung kongestif kronik, embolisasi sistemik dari thrombus mural dan aritmia ventrikel refrakter.
    11. Perikarditis
    12. Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung berkontak dengan pericardium menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan.
    13. Emboli Paru
    14. Emboli paru bisa menyebabkan episode dipsnea, aritmia atau kematian mendadak. Trombosis vena profunda lebih lazim pada pasien payah jantung kongestif yang parah


  • Pemeriksaan laboratorium dan Diagnostik penunjang

    1. Analisa gas darah (AGD)
    2. Pemeriksaan darah lengkap
    3. Hb, Ht
    4. Elektrokardiogram (EKG)
    5. Pemeriksaan aktifitas listrik jantung atau gambaran elektrokardiogram (EKG) adalah pemeriksaan penunjang untuk memberi petunjuk adanya PJK. Dengan pemeriksaan ini kita dapat mengetahui apakah sudah ada tanda-tandanya. Dapat berupa serangan jantung terdahulu, penyempitan atau serangan jantung yang baru terjadi, yang masing-masing memberikan gambaran yang berbeda.
    6. Foto Rontgen Dada
    7. Dari foto rontgen dada dapat menilai ukuran jantung, ada-tidaknya pembesaran (Kardomegali). Di samping itu dapat juga dilihat gambaran paru. Kelainan pada koroner tidak dapat dilihat dalam foto rontgen ini. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah seorang penderita sudah berada pada PJK lanjut. Mungkin saja PJK lama yang sudah berlanjut pada payah jantung.
    8. Pemeriksaan laboratorium
    9. Dilakukan untuk mengetahui kadar trigliserida sebagai factor resiko meningkat. Dari pemeriksaan darah juga diketahui ada-tidaknya serangan jantung akut dengan melihat kenaikan enzim jantung
    10. Treadmill
    11. Berupa ban berjalan serupa dengan alat olah raga umumnya, namun dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG. Prinsipnya adalah merekam aktifitas fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi berupa gambaran EKG saat aktifitas, yang memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan karena jantung mempunyai tenaga serap, sehingga pada keadaan sehingga pada keadaan tertentu dalam keadaan istirahat gambaran EKG tampak normal.
    12. Kateterisasi Jantung
    13. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter semacam selang seukuran ujung lidi. Selang ini dimasukkan langsung ke pembuluh nadi (arteri). Bisa melalui pangkal paha, lipatanlengan atau melalui pembuluh darah di lengan bawah. Kateter didorong dengan tuntunan alar rontgen langsung ke muara pembuluh koroner. Setelah tepat di lubangnya, kemudian disuntikkan cairan kontras sehingga mengisi pembuluh koroner yang dimaksud. Setelah itu dapat dilihat adanya penyempitan atau malahan mungkin tidak ada penyumbatan. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat saja mengenai beberapa tempat pada satu pembuluh koroner. Bisa juga sekaligus mengenai beberapa pembuluh koroner. Atas dasar hasil kateterisasi jantung ini akan dapat ditentukan penanganan lebih lanjut. Apakah apsien cukup hanya dengan obat saja, disamping mencegah atau mengendalikan factor resiko. Atau mungkin memerlukan intervensi yang dikenal dengan balon. Banyak juga yang menyebut dengan istilah ditiup atau balonisasi. Saat ini disamping dibalon dapat pula dipasang stent, semacam penyangga seperti cincin atau gorng-gorong yang berguna untuk mencegah kembalinya penyempitan. Bila tidak mungkin dengan obat-obatan, dibalon dengan atau tanpa stent, upaya lain adalah dengan melakukan bedah pintas koroner.


  • PENATALAKSANAAN
  • Berbagai obat-obatan membantu pasien dengan penyakit arteri jantung. Yang paling umum diantaranya:
    1. Aspirin / Klopidogrel / Tiklopidin.
    2. Obat-obatan ini mengencerkan darah dan mengurangi kemungkinan gumpalan darah terbentuk pada ujung arteri jantung menyempit, maka dari itu mengurangi resiko serangan jantung.
    3. Beta-bloker (e.g. Atenolol, Bisoprolol, Karvedilol).
    4. Obatan-obatan ini membantu untuk mengurangi detak jantung dan tekanan darah, sehingga menurunkan gejala angina juga melindungi jantung.
    5. Nitrates (e.g. Isosorbide Dinitrate).
    6. Obatan-obatan ini bekerja membuka arteri jantung, dan kemudian meningkatkan aliran darah ke otot jantung dan mengurangi gejala nyeri dada. Bentuk nitrat bereaksi cepat, Gliseril Trinitrat, umumnya diberikan berupa tablet atau semprot di bawah lidah, biasa digunakan untuk penghilang nyeri dada secara cepat.
    7. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (e.g. Enalapril, Perindopril) and Angiotensin Receptor Blockers (e.g. Losartan, Valsartan).
    8. Obatan-obatan ini memungkinkan aliran darah ke jantung lebih mudah, dan juga membantu menurunkan tekanan darah.
    9. Obatan-obatan penurun lemak (seperti Fenofibrat, Simvastatin, Atorvastatin, Rosuvastatin).
    10. Obatan-obatan ini menurunkan kadar kolesterol jahat (Lipoprotein Densitas-Rendah), yang merupakan salah satu penyebab umum untuk penyakit jantung koroner dini atau lanjut. Obat-obatan tersebut merupakan andalan terapi penyakit jantung koroner.
    11. Intervensi Jantung Perkutan.
    12. Ini adalah metode invasif minimal untuk membuka arteri jantung yang menyempit. Melalui selubung plastik ditempatkan dalam arteri baik selangkang atau pergelangan, balon diantar ke segmen arteri jantung yang menyempit, dimana itu kemudian dikembangkan untuk membuka penyempitan.Kemudian, tube jala kabel kecil (cincin) disebarkan untuk membantu menahan arteri terbuka. Cincin baik polos (logam sederhana) atau memiliki selubung obat (berlapis obat). Metode ini seringkali menyelamatkan jiwa pasien dengan serangan jantung akut. Untuk penyakit jantung koroner stabil penyebab nyeri dada, ini dapat meringankan gejala angina dengan sangat efektif. Umumnya, pasien dengan penyakit pembuluh darah single atau double mendapat keuntungan dari metode ini. Dengan penyakit pembuluh darah triple, atau keadaan fungsi jantung buruk, prosedur bedah dikenal dengan Bedah Bypass Arteri Jantung sering merupakan alternatif yang baik atau pilihan pengobatan yang lebih baik.
    13. Operasi.
      1. Bedah Bypass Arteri Jantung (CABG).
      2. CABG melibatkan penanaman arteri atau vena lain dari dinding dada, lengan, atau kaki untuk membangun rute baru untuk aliran darah langsung ke otot jantung. Ini menyerupai membangun jalan tol parallel ke jalan yang kecil dan sempit. Ini adalah operasi yang aman, dengan rata-rata resiko kematian sekitar 2%. Pasien tanpa serangan jantung sebelumnya dan melakukan CABG sebagai prosedur elektif, resiko dapat serendah 1 persen.
      3. Revaskularisasi Transmiokardia
      4. Untuk pasien dengan pembuluh darah yang terlalu kecil untuk melakukan CABG, prosedur disebut Revaskularisasi Transmiokardia juga tersedia di NHCS. Pada prodesur ini, laser digunakan untuk membakar banyak lubang kecil pada otot jantung. Beberapa lubang ini berkembang ke pembuluh darah baru, dan ini membantu mengurangi angina
      DAFTAR PUSTAKA
      Doenges, M.E., Moorhouse, M.F. & Geissler, A.C. 2010. Nursing care plant
      Libby P & Theroux P, 2014. Pathophysiology of Coronary Artery Disease, http://circ.ahajournals.org/content/111/25/3481.abstract diakses tgl 16-03-14
      American Academy of Family Physician (AAFP) 2014 http://www.aafp.org/afp/topicModules/viewTopicModule.htm?topicModuleId=4 diakses tgl 16-03-14
      David Hilis, 2011. A Report of the American College of Cardiology Foundation /American Heart Association Task Force on Practice Guidelines, http://circ.ahajournals.org/content/124/23/e652 diakses tgl 16-03-2014
      Smeltzer & Bare(2001), Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta:Penerbit EGC
      Price, S.A & Wilson, L.M.2001. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1 ed 4. Ter Peter Anugrah. Jakarta: EGC
    Download CAD
    Download PKDM

    LAPORAN PENDAHULUAN CHF

    LAPORAN PENDAHULUAN CONGESTIF HEART FAILURE (CHF)

    CONGESTIF HEART FAILURE (CHF)


    1. Definisi
    2. Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Smeltzer & Bare, 2001).

      Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan(Sylvia dan Lorraine 2005).

    3. Etiologi
      1. Kelainan Otot Jantung
      2. Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit degeneratif atau inflamasi

      3. Aterosklerosis Koroner
      4. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.

      5. Hipertensi Sistemik
      6. Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.Efek tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktiltas jantung.

      7. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif
      8. Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.

      9. Penyakit jantung lain
      10. Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load.

      11. Faktor Sistemik
      12. Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (missal : demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.Distrimia dapat terjadi dengan sendirinya atau secara sekunder akibat gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung.

        Gagal jantung menurut New York Association terbagi atas 4 kelas fungsional yaitu:
        1. Timbul gejala sesak pada aktivitas fisik berat
        2. Timbul gejela sesak pada aktifitas sedang
        3. Timbul gejala sesak pada aktivitas ringan
        4. Timbul gejala sesak pada saat aktivitas sangat ringan atau istirahat

    4. Patofisiologi
    5. Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankan kardiak output, yaitu meliputi :

      1. Respon system saraf simpatis terhadap barroreseptor atau kemoreseptor
      2. Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume.2) Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume.
      3. Vaskontriksi arterirenal dan aktivasi system rennin angiotensin
      4. Respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH dan reabsorbsi terhadap cairan.

      Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk melawan peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dari arteri coronaria. Menurunnya COP dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke miokardium. Peningkatan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen dan pembesaran jantung (hipertrophi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan.Kelainan intrisik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung iskhemik,mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.Kontraktilitasventrikal kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel.Dengan meningkatnya volume EDV (volume akhir diastole) ventrikel terjadi peningkatan tekanan akhir diastole ventrikel kiri(LVEDP).Dengan meningkatnnya LVEDP terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhungan langsung selam diastole.Peningkatan LAP diteruskan kebelakang kedalam pembuluh darah paru-paru,meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru.Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan ontotik pembuluh darah,akan terjadi transudasi cairan kedalam interstisial.Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes kedalam alveoli dan terjadilah edema paru.

      Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru.Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan.Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri,juga akan menyebabkan edema dan kongesti sistemik. Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara bergantian.Regulasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi annulus katup atroventrikularis atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinade akibat dilatasi ruang Asuhan keperawatan

    6. Manifestasi Klinis
    7. Tanda dominan dari gagal jantung adalah meningkatnya volume intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat turunya curah jantung pada kegagalan jantung. Turunnya curah jantung pada gagal jantung dimanifestasikan secara luas karena darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ (perfusi rendah) untuk menyampaikan oksigen yang dibutuhkan. Beberapa efek yang biasnya timbul akibat perfusi rendah yaitu pusing, konfusi, kelelahan, tidak toleran terhadap latihan dan panas, ekstremitas dingin dan haluaran urine berkurang.

      Adapun tanda dan gejala dari gagal jantung kongestif merupakan gabungan gagal jantung kiri dan kanan yaitu :
      1. Gagal Jantung Kiri
        1. Dispnea
        2. Dispnea terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Dispnea bahkan dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan minimal atau sedang.
        3. Orthopnea
        4. Kesulitan bernapas saat berbaring. Pasien yang mengalami ortopnea tidak akan mau berbaring, tetapi akan menggunakan bantal agar bisa tegak ditempat tidur atau duduk di kursi , bahkan saat tidur. Beberapa pasien mengalami ortopnea pada malam hari yang dinamakan paroksimal nocturnal dispnea (PND).
        5. Batuk
        6. Batuk bisa kering dan tidak produktif tetapi yang tersering adalah batuk basah ,yaitu batuk yang menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah yang banyak yang kadang disertai bercak darah.
        7. Mudah lelah
        8. Curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatnyaenergi yang digunakan untuk bernapas dan insomnia yang terjadi akibat stress pernapasan dan batuk.
        9. Kegelisahan dan kecemasan
        10. Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan , stress akibat kesakitan bernapas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi sengan baik. Begitu terjadi kecemasan, terjadi juga dispnea, yang pada gilirannyamemperberat kecemasan , menciptakan lingkaran setan.
      2. Gagal Jantung Kanan
        1. Edema
        2. Dimulai pada kaki dan tumit (edema dependen)dan secara bertahap bertambah keatas tungkai dan paha dan akhirnya ke genetalia eksterna dan tubuh bagian bawah . edema sacral sering jarang terjadi pada pasien yang berbaring lama , Karena pada daerah sacral menjadi daerah yang dependen. Pitting udema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah panekanan ringan dengan ujung jari.
        3. Hepatomegali
        4. Nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena dihepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam pembuluh darah portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen (asites).pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress pernapasan.
        5. Anoreksia dan mual
        6. Terjadi akibat pembesaran vena dan stasis vena didalam rongga abdomen.
        7. Nokturia
        8. Rasa ingin kencing pada malam hari terjadi karena perfusi renal didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring. Diuresis terjadi paling sering pada malam hari karena curah jantung akan membaik dengan istirahat.
        9. Lemah
        10. Lemah yang menyertai gagal jantung sisi kanan disebabkan karena menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi, dan pembuangan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan

    8. Penatalaksanaan
    9. Tujuan dasar pelaksanaan pasien dengan gaga l jantung adalah sebagai berikut:

      1. Dukung istrahat untuk mengurangi beban kerja jantung
      2. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-bahan farmakologis
      3. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh dengan terapi diuretik diet dan istrahat
      Penatalaksanaan dengan jantung terbagi atas 4 kelas yaitu:
      Kelas I: non farmakologi: diet rendah garam,batasi cairan, manajemen stress, aktivitas fisik, menghindari alkohol
      Kelas II, III: diuretik, digitalis, ACE inhibator (kombinasi 2 atau 3)
      Kelas IV: kombinasi diuretik, digitalis, ACE inhibator seumur hidup.
      1. Terapi farmakologi
      2. Glikosidasi jantung, diuretik dan vasodilatator merupakan dasar terapi farmakologis. Digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Ada beberapa efek yang dihasilkannya:
        • Peningkatan curah jantung
        • Penurunan tekanan vena dan volume darah;dan
        • Peningkatan diuresis yang mengeluarkan cairan dan mengurangi edema. Efek dosis digitalis yang diberikan tergantung pada keadaan jantung, keseimbangan elektrolit dan cairan serta fungsi ginjal dan hepar.Digitalis dosis lengkap diberikan untuk menginduksi efek terapi penuh obat ini.
      3. Terapi diuretik
      4. Diuretik diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon pembatasan aktifitas, digitalis dan diit rendah natrium.Bila diuretic diberikan maka harus pada pagi hari sehingga diuresis yang terjadi tidak mengganggu istrahat pasien pada malam hari.Asupan dan haluan cairan harus dicatat karena pasien mungkin mengalami kehilangan sejumlah besar cairan setelah pemberian satu dosis diuretic.
      5. Terapi vasodilatator
      6. Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan gagal jantng.Obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena,sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat dirunkan dan dapat mencapai penurunan drastic kongesti paru dengan cepat.Vasodilatator yang lain sering digunakan adalah nitrogliserin.
      7. Dukungan diet
      8. Rasional dukungan diet adalah mengatur diet sehingga kerja dan tegangan otot jantung minimal dan status nutristerpelihara. Pembatasan natrium untuk mencegah ,mengatur dan mengurangi edema seperti pada hipertensi dan gagal jantung.Dalam menentukan aturan sumber natrium harus spesifik dan jumlahnya perlu diukur dalam milligram.Pasien yang dibatasi diet natriumnya juga harus diingatkan untuk tidak meminum obat-0bat tanpa resep seperti antasida ,penenang atau pengganti garam karena produk tersebut mengandung natrium atau jumlah kalium yang berlebihan ,obat-obat bebas jangan digunakan tanpa konsultasi dahulu dengan dokter

    10. Pemeriksaan Diagnostik
      1. Laboratorium:
        • Hematologi: Hb, Ht, Leukosit,
        • Elektrolit: K, Na, Cl, Mg
        • Gangguan perfusi ginjal dan hati
        • Ureum, kreatinin, BUN, Urine lengkap,
        • SGOT, SGPT
        • Gula darah
        • Kolesterol, Trigliseride
      2. Ekokardiografi
      3. Gambaran yang paling sering ditemukan pada gagal jantung adalah akibat penyakit jantung iskemik, kardiomiopati dilatasi dan beberapa kelainan katup dilatasi ventrikel kiri yang disertai hipokinesis seluruh dinding ventrikel . juga dapat dilihat diskinesia regional pada tempat infark miokardium sebelumnya. Pemeriksaan ekokardiografi dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran dan fungsi ventrikel kiri. Dimensi ventrikel kiri pada akhir diastolic dan sistolik dapat direkam dengan ekokardiografi mode-M standar.
      4. Rontgen dada
      5. Foto sinar X dada posterior anterior dapat menunjukan adanya hipertensi vena, edema paru, atau kardiomegali.
      6. Elektrokardigrafi
        • Left bundle branch block, kelainan ST/T menunjukan disfungsi ventrikel kiri kronis.
        • Gelombang Q menunjukan infark sebelumnya dan kelainan segmen ST, menunjukan penyakit jantung iskemik.
        • Hipertrofi ventrikel kiri dan gelombang T terbalik menunjukan stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi
        • Aritmia :deviasi aksis kekanan , right bundle branch block dan hipertrofi ventrikel kanan menunjukan adanya disfungsi ventrikel kanan.
      7. AGD: gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan (dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
      8. Elektrolit :mungkin berubah karenaperpindahan cairan?penurunan fungsi ginjal, terapi diuretic
      9. BUN, KREATININ: peningkatan BUN menandakan penurunan perfusi ginjal. Kenaikan baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal
      10. Pemeriksaan tiroid: peningkatan aktifitas tiroid menunjukan hiperaktifitas tiroid sebagai pre-pencetus GJK
      11. Albumin /transferin serum: mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau penurunan sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti.


    DAFTAR PUSTAKA

    Brunner dan Suddarth. 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. EGC. Jakarta
    Doengoes, Marilyn C. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3 Jakarta: EGC,
    Muttaqin Arif. 2012 .Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem kardioveskuler dan hematologic, Salemba medika, Jakarta:
    Mappahya, A. 2010. Dari Hipertensi Ke Gagal Jantung. Pendidikan Profesional Berkelanjutan Seri II. FKUH. Makassar
    NANDA (North American Nursing Diagnosis Accosiation) NIC – NOC Edisi Revisi 2013 Jilid 1 & 2
    Ontoseno T. 2011. Gagal Jantung Kongestif dan Penatalaksanaannya pada Anak. Simposium nasional perinatologi dan pediatric gawat darurat. IDAI Kal-Sel. Banjarmasin.
    Philip & Ward Jeremy. 2008. At a Glance.Sistem kardiovaskuler Edisi ketiga Jakarta: Erlangga,
    Price A. Syvia. 2010 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Keperawatan, Edisi 6 Jakarta: EGC,

    Cara mendapatkan 2 juta backlink dofollow gratis

    Pagi ini saya iseng-iseng melakukan blog walking dengan tujuan mencari informasi tentang tukaran link, ternyata ketemu sebuah artikel yang cukup menarik untuk dibaca dengan judul menjaring backlink dengan mengikuti MLM backlink.
    Ternyata sistem MLM tidak hanya digunakan untuk mencari uang saja tapi juga untuk mencari backlink yang banyak. Sangat Cocok untuk jadi bahan Tutorial Wordpress untuk pemula, hehe.. Setelah saya baca ternyata metode yang diterapkan cukup masuk akal.
    Kalaupun misalnya tidak ada yang mengcopy artikel yang saya buat itung-itung beramal buat orang lain . Buat temen-temen blogger lain yang ingin mengikuti MLM Backlink ini, silahkan copy paste artikel saya ini dengan mengikuti ketentuan yang telah dibuat. Gratis dan kita lihat seberapa ampuh sistem MLM digunakan untuk backlink !!! Nah, Caranya simak di bawah ini :
    Siapa yang meragukan kedahsyatan faktor kali ? Siapa yang menganggap remeh kehebatan penyebaran produk dengan pemasaran sistem Multi Level Marketing? Nah, saya ingin mencoba mengajak anda semua untuk memanfaatkan kedahsyatan faktor kali dan kecepatan penyebaran ini dalam bentuk backlink. Caranya sangat mudah.
    Anda hanya perlu meletakkan link-link berikut ini di blog atau artikel anda :
    1. Yesus bukan Tuhan?
    2. Reparasi Sofa
    3. Freeware-asik
    4. Bisnis online
    5. Kitchen set
    6. Jadi master SEO Membuat mesin uang
    7. Cara membuat blog di wordpress
    8. Jasa interior makassar
    9. Myblog MyLife
    10. Share Artikel
    Yang harus diingat, sebelum anda meletakkan link diatas, dan memposting di blog anda, anda harus menghapus peserta nomor 1 dari daftar. Sehingga semua peserta naik 1 level. Yang tadi nomor 2 jadi nomor 1, nomor 3 jadi 2, dst. Kemudian masukkan link anda sendiri di bagian paling bawah (nomor 10).
    Jika tiap peseta mampu mengajak 5 orang saja, maka jumlah backlink yang akan didapat adala, ketika :
    1. posisi anda 10, jumlah backlink = 1
    2. Posisi 9, jumlah backlink = 5
    3. Posisi 8, jumlah backlink = 25
    4. Posisi 7, jumlah backlink = 125
    5. Posisi 6, jumlah backlink = 625
    6. Posisi 5, jumlah backlink = 3,125
    7. Posisi 4, jumlah backlink = 15,625
    8. Posisi 3, jumlah backlink = 78,125
    9. Posisi 2, jumlah backlink = 390,625
    10. Posisi 1, jumlah backlink = 1,953,125
    Dan semuanya menggunakan kata kunci yang diinginkan. Dari sisi SEO anda sudah mendapatkan 1,953,125 backlink. Dan efek sampingnya jika pengunjung web para downline anda mengklik link itu, anda juga mendapatkan traffik tambahan. Insa Allah blog tambah ramai pengunjung.
    Nah, silahkan copy paste artikel ini, dan hilangkan peserta nomor 1 lalu tambahkan link web anda di posisi 10. Ingat, anda harus mulai dari posisi 10 agar hasilnya maksimal. Karena jika anda tiba2 di posisi 1, maka link anda akan hilang begitu ada yang masuk ke posisi 10.
    Selamat mencoba.. dan mari kita lihat bersama efeknya. Pokoknya secangkir anggur merah belum seberapaaaa…….. Dahsyatnya!! Jika dibandingkan dengan senyumanmu… membuat akuuu…
    Hahaha… Buruan copy ini artikel, posting di blog kamu caranya seperti dijelaskan diatas. Rasakan Khasiatnya! Mudah, Gratis, Langsung Meledak!
    Luv u all..

    ABSES HEPAR


     
    A.    DEFENISI
    Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati (Aru W Sudoyo, 2006).
    Abscess adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang tidak akibat kerusakan jaringan, Hepar adalah hati (Dorland, 1996).
    Jadi Abses hepar adalah rongga berisi nanah pada hati yang diakibatkan oleh infeks

    B.     ETIOLOGI
    Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses hati pyogenik.
    1.      Abses hati amoeba
    Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebgai parasit non patogen dalam mulut dan usus, tapi hanya Enteremoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit.Hanya sebagian individu yang terinfeksi Enteremoeba histolytica yang memberi gejala invasif, sehingga di duga ada dua jenis E. Histolytica yaitu starin patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi strain ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hepar (Aru W Sudoyo, 2006).
    E.histolytica di dalam feces dapat di temukan dalam dua bentuk vegetatif atau tropozoit dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup di luar tuibuh manusia.Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten terhadap suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam suasana kering dan asam. Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.

    2.      Abses hati piogenik
    Infeksi terutama disebabkan oleh kuman gram negatif dan penyebab yang terbanyak adalah E.coli.Selain itu, penyebabnya juga adalah streptococcus faecalis, Proteus vulgaris, dan Salmonellla Typhi.Dapat pula bakteri anaerob seperti bakteroides, aerobakteria, akttinomesis, dan streptococcus anaerob.Untuk penetapannya perlu dilakukan biakan darah, pus, empedu, dan swab secara anaerob maupun aerob (Aru W Sudoyo, 2006).

    C.    PATOFISIOLOGI.
    1.      Amoebiasis Hepar
    Amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated. (Arief Mansjoer, 2001)
    Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme : (Arief Mansjoer, 2001)
    a.       strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen.
    b.      secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi    tergantung pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama pada flora bakteri.
    Mekanisme terjadinya amebiasis hati:
    1)      penempelan E.hystolitica pada mukus usus.
    2)      pengerusakan sawar intestinal.
    3)      lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell- mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit  tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll.
    4)      penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar  melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis  dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan  jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.
    Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri amebiasis. (Aru W Sudoyo, 2006)
    Skema bagan Terjadinya Amoebiasis hepar :

    2.      Abses hati piogenik
    Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari:
    a.              Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan pielflebitis porta atau emboli septik.
    b.             Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu empedu, kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.
    c.              Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses perinefrik, kecelakaan lau lintas.
    d.             Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.
    e.              Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut usia.(Aru W Sudoyo, 2006)

    D.    TANDA DAN GEJALA / MANIFESTASI KLINIS.
    Keluhan awal: demam/menggigil, nyeri abdomen, anokresia/malaise, mual/muntah, penurunan berat badan, keringan malam, diare, demam      (T > 38°), hepatomegali, nyeri tekan kuadran kanan atas, ikterus, asites, serta sepsis yang menyebabkan kematian. (Cameron 1997)
    Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klisik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang di tandai dengan jalan membungkuk kedepan dengan kedua tangan diletakan di atasnya. Demam/panas tinggi merupakan keluhan yang paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan disertai dengan keadaan syok. Apabila AHP letaknya dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang unintentional.
    Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan proses yang disebut peradangan.
    Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, beberapa kejadian terjadi:
    a.       Darah mengalir ke daerah meningkat.
    b.      Suhu daerah meningkat karena meningkatnya pasokan darah.
    c.       Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan lainnya.
    d.      Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas kimia.
    e.       Keempat tanda-panas, bengkak, kemerahan, dan sakit-ciri peradangan


    E.     PENATALAKSANAAN.
    1.      Medikamentosa
    Derivat nitroimidazole dapat memberantas tropozoit intestinal/ekstraintestinal atau kista.Obat ini dapat diberikan secara oral atau intravena.
    Secara singkat pengobatan amoebiasis hati sebagai berikut :
    a.       Metronidazole : 3x750 mg selama 5-10 hari dan ditambah dengan ;
    b.      Kloroquin fosfat : 1 g/hr selama 2 hari dan diikuti 500/hr selama 20 hari, ditambah;
    c.       Dehydroemetine : 1-1,5 mg/kg BB/hari intramuskular (maksimum 99 mg/hr) selama 10 hari.
    2.      Tindakan aspirasi terapeutik
    Indikasi :
    Abses yang dikhawatirkan akan pecah
    a.       Respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada.
    b.      Abses di lobus kiri karena abses disini mudah pecah ke rongga perikerdium atau peritoneum.
    3.      Tindakan pembedahan
    Pembedahan dilakukan bila :
    a.       Abses disertai komplikasi infeksi sekunder.
    b.      Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal.
    c.       Bila teraoi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil.
    d.      Ruptur abses ke dalam rongga intra peritoneal/pleural/pericardial.
    Tindakan bisa berupa drainase baik tertutup maupun terbuka, atau tindakan reseksi misalnya lobektomi.

    F.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
    Menurut Julius, ilmu penyakit dalam jilid I, (1998). Pemeriksaan penunjang antara lain:
    1.      Laboratorium
    Untuk mengetahui kelainan hematologi antara lain hemoglobin, leukosit, dan pemeriksaan faal hati.
    2.      Foto dada
    Dapat ditemukan berupa diafragma kanan, berkurangnya pergerakkan diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru.
    3.      Foto polos abdomen
    Kelainan dapat berupa hepatomegali, gambaran ileus, gambaran udara bebas diatas hati.
    4.      Ultrasonografi
    Mendeteksi kelainan traktus bilier dan diafragma.
    5.      Tomografi
    Melihat kelainan di daerah posterior dan superior, tetapi tidak dapat melihat integritas diafragma.
    6.      Pemeriksaan serologi
    Menunjukkan sensitifitas yang tinggi terhadap kuman.

    Menurut Julius, ilmu penyakit dalam jilid I (1998) Pengobatan dilakukan tiga cara :
    a.       Kemotrapi
    Obat-obat dapat diberikan secara oral atau intravena sebagai contoh untuk gram negatif diberi Metranidazol, Clindamisin atau Kloramfenikal.
    b.      Aspirasi Jarum
    Panda abses yang kecil atau tidak toksik tidak perlu dilakukan aspirasi.Hanya dilakukan pada ancaman ruktur atau gagal pengobatan konserfatif. Sebaliknya aspirasi ini dilakukan dengan tuntunan USG


    G.    PROGNOSIS.
    1.      Virulensi parasite
    2.      Status imunitas dan keadaan nutrisi penderita
    3.      Usia penderita, lebih buruk pada usia tua
    4.      Cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosa lebih buruk letak dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau multiple. Sejak digunakan pemberian obat seperti emetine, metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun secara tajam. Sebab kematian biasanya karena sepsis atau sindrom hepatorenal.

    H.    KOMPLIKASI.
    Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar5 – 15,6%, perforasi abses keberbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru, pericardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase.(Julius, 1998).
    Dapat juga komplikasi seperti:
    1.      Infeksi sekunder
    Merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.
    2.      Ruptur atau penjalaran langsung
    Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
    3.      Komplikasi vaskuler
    Ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus gastrointestinal jarang terjadi.
    4.      Parasitemia, amoebiasis serebral
    E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.



    KONSEP KEPERAWATAN.
    A.    PENGKAJIAN
    Adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut.
    Menurut Doenges,E.M (2010), data dasar pengkajian pasien dengan Abses Hepar, meliputi:
    1)      Aktivitas/istirahat, menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan, terlalu lemah, latergi, penurunan massa otot/tonus.
    2)      Sirkulasi, menunjukkan adanya gagal jantung kronis, kanker, distritmia, bunyi jantung ekstra, distensi vena abdomen.
    3)      Eliminasi, Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya flatus, distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap pekat.
    4)      Makanan/cairan, menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat mencerna, mual/muntah, penurunan berat badan dan peningkatan cairan, edema, kulit kering, turgor buruk, ikterik.
    5)      Neurosensori, menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi, koma, bicara tidak jelas.
    6)      Nyeri/kenyamanan, menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran kanan atas, pruritas, sepsi perilaku berhati-hati/distraksi, focus pada diri sendiri.
    7)      Pernapasan, menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia.
    8)      Keamanan, menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, ekimosis, patekis, angioma spider, eritema.
    9)      Seksualitas, menunjukkan adanya gangguan menstruasi, impotent, atrofi testis.



    B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN.
    Menurut Doenges,E.M (2010), diagnosa keperawatan pasien dengan Abses Hepar meliputi :
    1.      Pola napas, tidak efektif berhubungan dengan Neuromuskular, ketidakseimbangan perceptual/kognitif.
    2.      Perubahan persepsi/sensori: proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia: penggunaan obat-obat farmasi.
    3.      Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses/prosedur medis/adanya rasa mual).
    4.      Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas otot.
    5.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanisme pada kulit/jaringan.
    6.      Resiko tinggi infeksi berubungan dengan luka oprasi dan prosedur invasif.
    7.      Gangguan kebutuhan tidur berhubungan dengan proses penyakit, efek hospitalisasi, perubahan lingkungan
    8.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan.

    C.    INTERVENSI KEPERAWATAN.
    Intervensi / Perencanaan berdasarkan Doenges,E.M (2010) perawatan pasien pasca operatif :
    1.      Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan perseptual/kognitif.
    Tujuan : pola pernapasan normal/efektif dan bebas dari sianosis atau tanda-tanda hipoksia.
    Intervensi :
    a.       Pertahankan jalan udara pasien memiringkan kepala
    b.      Auskultasi suara napas.
    c.       Observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan, pemakaian otot-otot bantu pernapasan.
    d.      Pantau tanda-tanda vital secara terus-menerus
    e.       Lakukan gerak sesegera mungkin
    f.       Observasi terjadinya yang berlebih
    g.      Lakukan penghisapan lendir bila perlu
    h.      Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan
    i.        Berikan terapi sesuai instruksi

    2.      Perubahan persepsi/sensori: proses pikir berhubungan dengan penggunaan obat-obatan farmasi.
    Tujuan: meningkatnya tingkat kesadaran
    Intervensi:
    a.       Orientasikan kembali pasien secara terus-menerus setelah keluar dari pengaruh anestasi.
    b.      Bicara dengan pasien dengan suara yang jelas dan normal.
    c.       Minimalkan diskusi yang bersifat negatif.
    d.      Gunakan bantalan pada tepi lakukan pengikatan jika perlu.
    e.       Observasi akan adanya halusinasi, depresi dan lain-lain.
    f.       Pertahankan lingkungan tenang dan nyaman.

    3.      Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/prosedur medis/adanya rasa mual)
    Tujuan: terdapat keseimbangan cairan yang adekuat.
    Intervensi:
    a.       Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran.
    b.      Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan.
    c.       Pantau tanda-tanda vital.
    d.      Catat munculnya mual/muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan.
    e.       Periksa pembalut, alat drein pada interval regular, kaji luka untuk terjadinya pembengkakan.
    f.       Berikan cairan parenteral, produksi darah dan/atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkat kecepatan IV jika diperlukan.
    g.      Berikan kembali pemasukan oral secara berangsur-angsur sesuai petunjuk.
    h.      Berikan antiemetik sesuai kebutuhan.

    4.      Nyeri berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot, trauma musculoskeletal/tulang, munculnya saluran dan selang.
    Tujuan: rasa nyeri/sakit telah terkontrol/dihilangkan, klien dapat beristirahat dan beraktifitas sesuai kemampuan.
    Intervensi:
    a.       Kaji skala nyeri, intensitas, dan frekuensinya.
    b.      Evaluasi rasa sakit secara regular.
    c.       Kaji tanda-tanda vital.
    d.      Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin sesuai prosedur operasi.
    e.       Letakkan reposisi sesuai petunjuk.
    f.       Dorong penggunaan teknik relaksasi.
    g.      Berikan obat sesuai petunjuk.

    5.      Kerusakan integeritas kulit berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan kesehatan.
    Tujuan: klien memperlihatkan tindakan untuk meningkatan metabolik.
    Intervensi:
    a.       Kaji kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional
    b.      Letakkan klien pada posisi tertentu.
    c.       Pertahankan kesejahteraan tubuh secara fungsional.
    d.      Bantu atau tindakan untuk melakukan latihan rentang gerak.
    e.       Berikan perawatan kulit dengan cermat.
    f.       Pantau haluaran urine.
    6.      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi dan prosedur invasif.
    Tujuannya; tidak terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi
    Intervensi:
    a.       Berikan perawatan aseptik dan anti septik, pertahankan cuci tangan yang baik.
    b.      Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (luka jahitan) daerah yang terpasan alat invasif.
    c.       Pantau seluruh tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil dan diaphoresis
    d.      Awasi atau jumlah penggunjung
    e.       Observasi warna dan kejarnya uring
    Berikan anti biotik sesuai indikasi

    7.      Gangguan kebutuhan istrahat tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan dan efek hopitalisasi.
    Tujuan: kebutuhan istrahat dapat terpenuhi
    Intervensi:
    a.       Kaji kemampuan dan kebiasaan tidur klien
    b.      Berikan tempat tidur yang nyaman dengan beberapa barang milik pribadinya contoh : Sarung, guling
    c.       Dorong aktifitas ringan
    d.      Intruksikan tindakan relaksasi
    e.       Dorong keluarga untuk selalu menemani.
    f.       Awasi dan batasi jumlah penggunjung.

    8.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi/situasi, pragnosis kebutuhan pengobatan.
    Tujuan: Menyatakan, pemahaman proses penyakit/pragnosis.


    Intervensi:
    a.       Tinjau ulang pembedahan/prosedur khusus yang dilakukan dan harapan masa dating.
    b.      Diskusikan terapi obat-obatan, meliputi penggunaan resep.
    c.       Indentifkasi keterbatasan aktivitas khusus.
    d.      Jadwalkan priode istirahat adekuat.
    e.       Tekankan pentingnya kunjungan lanjut.
    f.       Libatkan orang terkenal dalam program pengajaran. Menyediakan instruksi tertulis/materi pengajaran.
    g.      Ulangi pentingnya diita nutrisi dan pemasukan cairan adekuat.





















    DAFTAR PUSTAKA


    Aru, W. Sudoyo, dkk.(2006). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi Empat.Jakarta :  Balai Penerbitan FK-UI.
    Bruner dan Suddarth.( 2000 ). BukuAjaran KMB. Edisi 8. Jakarta: EGC.
    Cameeron.(1995). Prinsip-prinsip Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara.
    Doenges, E., Moorhouse, MF dan Geissler, A. (2010).Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta : EGC.
    Harjono, dkk.(1996). Kamus Kedokteran Dorland.Edisi 26. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
    Mansjoer, Arief. dkk. (2001). Kapita Selekta Kedokteran; Jilid 1, Edisi Ketiga.Jakarta : Media Aesculapius. Halaman 512.
    Microsoft Encantta Reference Library.( 2004 ). Liver, Amebiasis Abses and Calf Diphteria/ Fusa bakteriun necrosphorum.
    Sherwood. (2001). System Pencernaan, dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke sistem.Jakarta : EGC. Halaman 565.
    Sylvia a. Price.(2006). Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku Patofiologi.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteranm EGC. Halaman 472-474.

    Translate